SWEET REVENGE [CHAPTER 9]

page-11

Author : saikounolady (@saikounolady)
Main Cast : Sandara Park, Kwon Jiyong, Choi Seunghyun, Jung Yonghwa
Support Cast : Dong Youngbae, Seungri, Kang Daesung, and find out yourself
Genre : Romance, AU, Angst
Length : Chaptered
Rating : General

“Kau kembali atau tidak..
takdirku, takdir kita tetep sama.” – Jiyong

Chapter 9: Painful Road

Langkah kakinya semakin terdengar nyata dan terhenti tepat di balik pintu ini. Aku menunggu dengan penuh pengharapan. Aku terus menunggu, terdiam sampai dia berbicara.

“Ka..kau baik-baik saja? A..apa kau masih di sana?”

“Ah.. i..iya aku masih di sini, baik-baik saja. Aku diam menunggu kau membuka pintu.”

“Oh.. aku hanya takut, aku pikir aku mendengar setan apalagi tiba-tiba kau tak berbicara. Sebentar aku lihat dulu pintu ini.”

Jujur saja hanya mendengar suaranya aku merasa tenang, suara gadis ini begitu manis. Meski hanya berbicara aku seakan bisa mendengar rangkaian nada dari kata-katanya, dari kalimatnya. Suaranya terlalu indah, sesuatu yang tak pernah aku punya, sesuatu yang Jiyong selalu inginkan dari seorang gadis sejak dulu. Suara indah. Tanpa kusadari aku sudah mengaggumi gadis yang bahkan belum pernah aku lihat ini.

Terdengar kenop pintu terputar namun, sama saja seperti sebelumnya. Pintu ini tak bergeming. Berkali-kali gadis itu memutar-nya dan tetap berakhir sama.

“Aish.. benar-benar terkunci. Sayangnya kunci yang aku pinjam hanya sebatas kunci ruangan di lantai atas. Aku tak punya kunci ruangan ini. Ottokhae?”

“A..aku juga tak tahu. Aku takut..”

“Hmm.. tenang, coba kau menyingkir dari pintu sekarang.”

“Ba..baiklah, kau mau apa?”

Aku mengikuti perkataannya bergeser ke samping tak lama mendengar langkah kaki menjauh. Sedikit manjauh dari posisi-ku. Jangan bilang dia berniat meninggalkanku. Belum sempat aku mengeluarkan suara dia sudah berbicara, terdengar samar.

“Diam dan lihatlah. Kau sudah menyingkir kan. Hiyaaaaahhh!”

< BRAAKK!>   <BRAAKK!>   <BRAAKK!>

<BRAAKK!>    <BRAAKK!>   <BRAAKK!>

<BRAAAAKKK!>

<KREEK>

Aku tertegun melihat pintu tebal dan besar itu terdorong paksa setelah tujuh kali suara gebrakan tadi. Aku terlalu lemah untuk mengeluarkan suara kagetku. Aku hanya melotot tak percaya, melihat seorang gadis manis ikut terdorong kuat ke dalam dan tersungkur ke lantai dengan nafas terengah-engah.

“Ha.. ha.. ha.. Biasanya.. ha.. aku bisa.. membobol.. ha.. pintu.. dengan.. tiga hentakan badan.. plus tendangan.”

Gadis itu berbicara di tengah nafas terengah-engahnya sambil tersenyum lemah. Sama seperti suaranya, gadis yang masih terduduk di lantai sambil memandangku ini sangat indah. Sangat cantik.

Setelah selesai mengagumi sosok itu aku segera berlari mendekatinya. Membantunya berdiri.

“Apa kau baik-baik saja? Bisa berjalan?”

“Ne, ayo kita keluar.”

Dia tersenyum dan menarikku keluar ruangan setelah aku mengambil barang-barangku yang bergeletakkan di lantai. Kami berdua berjalan menyusuri koridor gelap ini.

“Jeongmal kamsahamnida, aku tak tahu apa yang akan terjadi bila tak ada dirimu.”

“Aniyo, aku dikirim oleh Tuhan untuk membantumu. Kau tahu, aku tak pernah berlatih di kampus sampai selarut ini. Tapi, entah kenapa hari ini aku begitu ingin melakukannya. Mungkin karena kau. Besok ah bukan pagi ini aku akan menjalani tes penentuan untuk bisa menjadi VIP. Hehe.”

Gadis ini bukan hanya manis dan cantik dia bisa begitu terbuka dengan-ku yang baru saja bertemu dengannya. Membuat aku merasa nyaman berada di sampingnya.

“Ah, begitu. Tetap saja aku sangat berterima kasih padamu. Euumm.. Aku juga ada tes pagi ini tapi, baru menuju level 2. Ayo kita berjuang bersama.”

“Ne, Hwaiting!”

Dia mengepalkan tangan-nya sambil merangkul bahuku. Belum sampai 15 menit, aku sudah merasa begitu dekat dengan gadis manis ini. Ah, aku belum tahu siapa nama gadis ini. Bodoh.

“Eumm.. siapa nama-mu? Aku Sandara Park.”

Aku menyodorkan tangan-ku. Kami seperti orang bodoh, mengobrol tapi belum saling mengetahui nama masing-masing. Dia kemudian tertawa refleks.

“Haha. Benar, kita lupa berkenalan. Aku Tiffany.”

Lagi-lagi dia tersenyum menyambut uluran tanganku. Senyum yang sangat indah juga mata yang unik. Tak lama, terdengar alunan piano. Awalnya aku tak mengenal musik ini, tapi lama-kelamaan aku menyadarinya. Bukankah ini twinkle-twinkle little star. Lagu yang sangat Jiyong suka sejak kecil bahkan sampai sekarang. Dengan sigap Tiffany mengambil ponsel di tasnya. Oh, ternyata itu suara ponsel-nya. Dia memiliki selera yang sama dengan Jiyong rupanya. Aku tersenyum dengan sendirinya walau hanya mengingat Jiyong, membayangkan wajahnya. Tak peduli apa yang sudah dia lakukan padaku.

“Ah, maaf membuatmu menunggu. Aku sudah selesai latihan, aku segera ke sana. Kali ini aku membawa teman, aku harap kau tak keberatan mengantar dia pulang.”

“Ne, saranghaeyo.”

Aku mendengar Tiffanny berbicara dengan seseorang di seberang sana, terlihat jelas bahwa itu pacarnya. Yang pasti seseorang itu sudah menunggu dirinya di suatu tempat.

“Tunangan-ku. Namja yang menelponku tadi tunangan-ku. Minggu depan bila tak ada halangan aku akan, kami akan menikah. Teehee. Ah maaf, apa yang kubicarakan ini. Maaf Sandara-ssi.”

Tiba-tiba dia membuka suara seakan menjawab tanda tanya di hatiku. Wajar saja gadis secantik dia memiliki tunangan. Tunangan? Hmm. sampai saat ini aku dan Yonghwa belum benar-benar bertunangan. Karena kecelakaan itu. Semua terpaksa dibatalkan. Appa tak mau memaksaku lagi dan memberi kebebasan padaku untuk menjalani hubungan seperti apa asal bersama Yonghwa. Tak ada paksaan untuk menikah. Apalagi dalam waktu dekat ini.

“Ah, tidak masalah. Aku senang kau terbuka padaku. Hehe.”

Kami tetap melanjutkan langkah dan sampailah di gerbang kampus ini. Aku melihat jam tangan-ku. Jam 11.38 pm. Ya ampun sudah selarut ini. Beberapa meter dari tempat kami berdiri terparkir sebuah mobil putih mengkilat. Mobil yang sangat indah dan pastinya mahal.

Tiffany menarik tanganku berjalan mendekati mobil itu. Aku hanya bisa mengikuti, meski sebenarnya aku bisa meminjam ponsel dia untuk menghubungi Seunghyun. Aku tak tahu apa yang mendorongku untuk tetap mengikuti gadis ini. Aku hanya diam.

Jendela mobil turun perlahan disambut senyuman seseorang. Walau gelap, senyuman ini sangat kukenal. Senyuman yang membuat aku tak mampu bernafas. Membuat tubuhku lemas. Apa dia yang Tiffany maksud sebagai tunangan-nya? Membayangkan itu membuat jiwa-ku seakan terpisah dari tubuhku. Aku tak mampu bergerak. Aku yakin itu dia.

“Jiyong-ah, beruntung aku memutuskan mengabaikan laranganmu untuk berlatih di kampus. Aku bisa menyelamatkan seseorang. Teehee. Ini dia, teman yang kuceritakan tadi.”

Mendengar nama itu disebut, raga-ku yang memang sudah lelah dan lemah sejak tadi terjatuh dengan sendirinya. Aku pingsan. Aku tak sanggup menahan semua ini. Dahi dan tubuh-ku menghantam keras pavement tempat aku berpijak.

<BRUUK!>

 

JIYONG’S POV

Aku melaju cepat menuju kampus begitu mengetahui Tiffany tak di rumah-nya. Aku sebelumnya sudah melarang dia berlatih di sana tapi, dia tampaknya tak menghiraukan-ku. Tak sampai 10 menit aku sudah sampai di sini namun, dia melarang aku menjemputnya ke dalam. Gadis yang keras kepala. Akhirnya aku mengikuti lagi kemauannya, aku hanya menunggu di sini. Di depan gerbang ini. Aku menunggu gadis itu, gadis yang satu minggu lagi akan menjadi istriku. Semoga.

Begitu melihat bangunan di hadapanku ini dengan sendirinya pikiran-ku melayang pada gadis lain, gadis yang dulu sangat, sangat aku cinta. Melihatnya tadi dalam keadaan baik-baik saja memberi kebahagiaan tersendiri di hatiku meski aku tak pernah mengharapkan perasaan seperti itu. Aku membencinya. Aku tak peduli lagi dengan apapun yang berhubungan dengannya. Hal itulah yang selalu aku tanamkan di hatiku dan benar-benar berhasil membuatku membencinya. Mungkin. Aku ingin dia menderita. Terlalu banyak rasa sakit yang dia sebabkan. Menghancurkan hidupku. Merenggut nyawa orang-orang yang aku sayang.

Samar-samar aku melihat dua bayangan gadis menghampiri mobil-ku, tanpa ragu aku menurunkan jendela mobil. Segera tersenyum hanya karena melihat sosok-nya. Sosok yang benar-benar aku cinta. Atau mungkin hanya aku butuhkan. Ah, apa yang kupikirkan.

“Jiyong-ah, beruntung aku memutuskan mengabaikan laranganmu untuk berlatih di kampus. Aku bisa menyelamatkan seseorang. Teehee. Ini dia, teman yang kuceritakan tadi.”

Tiffany tanpa basa-basi mengeluarkan sesuatu yang sepertinya sudah sejak tadi ingin dia katakan pada-ku. Selang beberapa detik dari ucapan Tiffany, aku mendengar suara keras sesuatu terjatuh.

Ah, teman Tiffany yang sedari tadi tak kuperhatikan seperti-nya terjatuh. Aku segera keluar dari mobil dan berlari mendekati posisi gadis yang sudah tergeletak itu.

Terdiam, terpaku. Hanya itu yang mampu aku lakukan, terlalu syok melihat sosok ini lagi. Aku mundur beberapa langkah. Sumpah demi apapun aku tak pernah mengharapkan bertemu dengan gadis ini lagi tapi, sepertinya Tuhan punya rencana lain. Aku tak menyangka dia masih berada di sini. Apa aku keterlaluan? Aku membuang pikiran itu. Tidak, dia pantas menerimanya.

Aku hanya diam sama sekali tak ada keinginan mengangkat tubuhnya meski sesuatu mengusikku, darah mengalir perlahan membasahi jalan yang disinari cahaya lampu redup ini. Aku mencoba tak menghiraukannya. Biarkan orang lain yang menolongnya. Aku hanya perlu menghubungi Ambulans. Yah, benar ambulans. Baru saja aku ingin meraih ponsel, Suara bergetar Tiffany menghentikanku, dipenuhi rasa takut.

“Jiyong!! Apa yang kau lakukan cepat angkat dia kita harus membawanya ke rumah sakit! Dia terluka!”

“…..”

“Jiyong!! jangan diam saja! Cepat bantu aku!”

Kali ini Tiffany berlutut meraih tubuh gadis itu, mencoba mengangkatnya. Meski berkali-kali gagal. Aku hanya diam memperhatikan mereka berdua. Aku tak mau terjebak untuk kedua kalinya! Aku kembali mengambil ponsel di saku celanaku, tak sengaja menangkap sesuatu berkilat di wajah gadis itu. Darahku berdesir saat melihat air mata menetes pelan di wajah pucatnya. Dara menangis dalam keadaan tidak sadar. Aku rasa.. aku tak mampu lagi membohongi perasaanku.

“Cepat buka pintu mobil!”

Aku mengeluarkan suara tinggi dan keras yang tak pernah kuduga bisa kuucapkan untuk Tiffany dan itu karena gadis ini. Perasaan menyesal menyelinap di hatiku melihat ekspresi terkejut di wajah Tiffany. Dia segera berdiri kemudian membuka pintu mobil membuat aku sedikit lega. Aku kembali menghadapi situasi yang sudah menunggu keputusanku. Aku yang berjarak beberapa langkah dari Dara, berlari panik mendekati dirinya yang terbaring lemah. Tangan-ku bergerak dengan sendirinya melepas jaket yang sedari tadi aku pakai, menutupi luka-nya. Benar-benar sama. Apa ini kebetulan atau hanya perasaanku saja? Aku terdiam sebentar kemudian kembali tersadar.

Tanpa membuang waktu aku segera mengangkat tubuh rapuh-nya, tubuh yang sama seperti saat itu. Hatiku berkecamuk hebat. Semua terjadi dengan sendirinya. Aku bisa rasakan kepanikan yang luar biasa dalam diriku, meski aku berusaha kuat menghapusnya, meski otak-ku berusaha keras menolak semua ini. Aku tetap mengulangi kesalahan itu. Melakukan hal ini.. lagi. Aku tetap meyakinkan diriku. Pertahanan yang selama ini aku buat tak mungkin selemah ini. Aku hanya terbawa suasana. Aku membaringkan tubuhnya di jok belakang, berlari masuk ke mobil dan menancap gas secepat mungkin.

Hatiku yang sejak kapan memiliki perasaan takut seperti sekarang memacuku menjalankan mobil sekencang ini. Aku merasa seperti melayang. Nafas-ku turun naik masih melawan diriku sendiri. Sumpah yang selama ini aku pegang untuk tidak pernah peduli pada gadis ini lagi seakan tak berlaku saat ini. Kejadian tujuh tahun lalu yang selalu aku coba kubur dan lupakan terkuak kembali. Semua yang aku lalui ini mengingatkan, sangat mengingatkanku dengan hal itu. Namun saat ini keselamatannya lebih penting.

Gedung besar itu sudah terlihat begitu jelas, aku melaju lebih kencang lagi kemudian memarkirkan mobil secepat yang aku bisa. Aku turun dari mobil, segera meraih tubuhnya tanpa menunggu bantuan dari rumah sakit. Aku mengangkatnya dipenuhi rasa khawatir kemudian berlari sekuat tenaga seakan tak melihat apapun di hadapanku, aku bahkan melupakan tunanganku, Tiffany. Aku meninggalkannya yang terdiam tak percaya di sisi mobil. Sejujurnya aku tak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Aku menangis. Aku sungguh tak percaya, aku menggendongnya dengan air mata. Lagi-lagi sama.

“Bertahanlah.. Sandara.”

DARA’S POV

Dalam rasa sakit ini aku bisa merasakannya, merasakan kedua tangan yang sama seperti saat  itu memegang tubuhku. Menggendong-ku disertai isakan. Aku bisa mendengar suara yang sama. Jiyongie? Kau kah ini? Airmata-ku mengalir dengan sendirinya tak tahu untuk apa. Aku merasakan sakit yang luar biasa baik di hati dan tubuhku. Sesuatu membalut kepalaku, harumnya masih sama seperti.. jaket itu. Perlahan kesadaran-ku yang hanya tersisa sedikit, mulai menghilang sepenuhnya. Aku tertidur untuk sementara, menyaksikan film yang terus terputar ini.

Flashback

Di bawah kesadaranku, aku bisa melihat dua jalan di hadapanku. Aku diberi kesempatan untuk memilih melewati jalan yang mana. Di sebelah kiri seulur tangan yang diliputi cahaya menunggu aku menyambutnya. Di sebelah kanan, kosong. Tak ada yang bisa kulihat. Aku perlahan berjalan ke sebelah kiri. Cahaya itu membuat aku tertarik berjalan ke sana. Selangkah lagi aku menyambut uluran tangan itu tiba-tiba dari sisi kanan muncul suara seorang namja, terisak. Aku terkejut dan refleks melangkah mundur. Aku memutuskan untuk memilih jalan di sisi kanan-ku, aku merasa mengenal suara itu, aku ingin menemui namja itu meski hanya suara nya yang terdengar. Tanpa ragu aku melangkah memasuki jalan gelap itu. Ajaib jiwaku seakan dikembalikan ke tubuhku. Sekarang aku bisa merasakan seseorang menggendong-ku berlari dan terisak.

San-da-ra… Ja-wab aku.. ber-ta-han lah.. maafkan aku.. aku mohon bertahan.. kau bodoh untuk apa membohongiku.. kau bo-doh..”

Seseorang membawaku. Pendengaranku dipenuhi dengan isakan. Meski aku merasa sakit, aku merasa aman di pelukan kedua lengan kuat ini. Aku tak tahu siapa dia, aku tak bisa mengingat apa yang terjadi, aku tak tahu aku dimana, aku tak tahu aku siapa. Kedua lengan itu meninggalkan aku, membaringkan aku di sini.

Meski aku sangat ingin membuka mataku, aku tak bisa. Aku terperangkap di sini. Di alam bawah sadarku. Aku bisa merasakan tangannya terus menggenggam tanganku. Banyak hal yang dia katakan tapi, aku tak bisa mendengar jelas semuanya. Aku tak bisa mendengar apa yang terjadi. Tapi kali ini dia meletakkan sesuatu di tangan-ku.

Dara-ah.. saat kau sudah sadar dan sudah berada di Itali nanti, bila merasa sepi.. atau sedih.. sebut namaku dalam hatimu.. aku akan datang.. meski hanya dalam mimpimu.

Itu terakhir kalinya namja itu berbicara denganku dan menggenggam tanganku. Aku tak pernah melihatnya. Meski begitu, aku merasa sudah sangat mengenal dia. Semenjak kepergiannya aku hanya sendiri di sini dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku bisa membuka mataku.

“Dara.. sayang, eomma merindukanmu. Akhirnya kau sadar. Huhuhu.”

Seorang yeoja paruh baya memelukku sambil menangis tanpa henti. Dibelakangnya samar-samar terlihat seorang namja paruh baya juga menangis sambil menggenggam tanganku. Di sisi kananku aku melihat seorang namja, namja muda menggenggam tangan kananku. Dia juga menangis. Apa namja ini yang bersamaku selama aku tertidur?

“Dara, ini eomma dan ini Appa. Kau ingat kan? Dan dia Yonghwa, calon tunanganmu.”

Eomma? Appa? Tunangan? Mereka begitu penting untukku tapi, mengapa aku tak mengingat mereka. Apa yang terjadi. Aku hanya diam memandangi mereka satu persatu dan menggeleng lemah. Wajah panik tergambar jelas di hadapanku.

Mereka merawatku seakan aku guci porselen yang langka dan mahal. Aku sudah cukup merasa baikan. Namun, satu hal yang harus aku terima. Aku kehilangan semua ingatanku. Aku amnesia. Mereka membantuku mengingat satu persatu hal dalam hidupku. Percuma, belum ada yang bisa kuingat kecuali mereka bertiga.

***

Suatu siang saat aku setengah tertidur karena pengaruh obat. Aku mendengar dua orang sedang berbicara. Terdengar seperti suara appa dan Yonghwa.

“Semua karena Jiyong, Dara menjadi seperti ini! Lihat saja aku akan membuat dia menyesal! Yonghwa, bisa kau lakukan ini? psst..psst..psst.”

“Ne, Ne. Aku akan mengusahakannya. Serahkan padaku.”

Appa berbicara sesuatu dengan Yonghwa di sofa. Masih di Rumah Sakit. Siapa itu Jiyong? Apa aku mengenalnya? Aku bertanya dalam hati dan akhirnya memberanikan diri bertanya pada Appa.

“A..appa, siapa itu Jiyong?”

“Ah.. Dara kau tidak tidur? Dia hanya orang yang tidak penting. Sudahlah istirahat saja.”

“Uhm.. tapi aku dengar appa menyebut dia penyebab keadaanku yang sekarang? Tentu saja dia penting. Katakan padaku appa.”

“Dara sayang, sudah tak usah dipikirkan. Kau istirahat saja.”

Yonghwa menjawabku sambil berjalan mendekat dan tersenyum. Dia duduk di sampingku, menggenggam tanganku. Ah, aku merasa seperti merindukan genggaman ini walau terasa agak berbeda.

“Tidak, aku ingin tahu. Tolong katakan padaku, Yonghwa.”

Yonghwa melihat Appa sejenak, disambut dengan anggukan dari appa. Kemudian appa pamit keluar. Dan tinggal aku berdua bersama Yonghwa. Aku masih menunggu dia membuka suaranya.

“Baiklah jika kau memaksa. Jiyong, keluarganya dulu adalah saingan bisnis keluargamu. Tapi, ayahmu tanpa disengaja menjatuhkan bisnis keluarganya. Jiyong dan keluarganya jatuh dalam kemiskinan. Aku tahu ayahmu sama sekali tak berniat menjatuhkan bisnis mereka. Maka dari itu ayah menawarkan ayah Jiyong untuk menjadi karyawan di perusahaan keluargamu. Ayahnya menerima tawaran itu. Namun, dendam Jiyong sepertinya tak hilang begitu saja. Dia yang memang sudah menjadi temanmu berubah menjadi musuh dalam selimut. Aku berkali-kali mengingatkanmu tapi, kau tak mendengarkan aku. Sampai akhirnya terjadi hal itu..”

Yonghwa menunduk dalam. Aku tetap mendengarkan, aku sama sekali tak bisa mengingat tentang Jiyong. Apa benar dia menaruh dendam padaku dan keluargaku?. Aku harus percaya pada Yonghwa.

“Dara, dia lah yang mendorongmu ke dalam jurang itu. Malam itu, aku sebenarnya tahu kau pergi bersamanya. Aku mengikuti kalian berdua yang sedang berjalan dari belakang dangan jarak yang cukup jauh. Tak ada orang di sana. Aku masih merasa tenang sampai si brengs*k itu tiba-tiba mendorongmu. Kau jatuh ke dalam jurang, sementara dia.. aku bisa melihatnya sedang tertawa. Aku menginjak gas seperti kesetanan. Kemudian berlari menuruni jurang itu bahkan sempat terjatuh berkali-kali-”

“Hentikan.. kepalaku sakit, Yonghwa. Jangan diteruskan.”

“Ah, maaf. Sudah kubilang kau harus istirahat.”

Rasa sakit di kepalaku tak kunjung hilang malah bertambah hebat, aku merasa mengenal suasana itu tapi berbeda, sedikit berbeda. Aku akhirnya pingsan tak sanggup menahan rasa sakit itu.

***

“Nyonya, Tuan. Untuk saat ini, jangan memaksakan Dara untuk mengingat. Biarkan dia mengingat semua dengan sendirinya meski membutuhkan waktu cukup lama. Saya permisi dulu.”

“Ne, kami mengerti. Terima kasih banyak. Ah, tunggu.. ada satu hal yang ingin saya bicarakan dengan dokter.”

“Uhm, apa itu?”

“Mmm.. tolong rahasiakan perihal amnesia ini pada orang luar. Kami harap dokter tidak menulis Dara mengalami amnesia di rekam medisnya. Kami mohon, Kami tak ingin menimbulkan kekacauan. Bisa dok?”

“Ah, maaf itu tak bisa. Kami-“

“Saya akan mengabulkan semua permintaan dokter, asal melakukan itu untuk kami.. Psst..psst..psst.”

“Ahmm, Ba..baiklah saya mengerti. Kalau begitu, saya permisi.”

Setengah sadar aku mendengar suara dua orang sedang berbicara. Aku tak mengerti yang mereka bicarakan. Baiklah, aku masih mengingat aku berada di Rumah Sakit bersama eomma, appa, dan Yonghwa. Aku bahkan mengingat seseorang yang menyebabkan aku mengalami kejadian seperti ini. Seorang pembunuh. Aku membencinya meski aku sama sekali tak mengingat dia. Aku membencinya walau hanya dari cerita Yonghwa. Jiyong. Ah, aku tak ingin mengingat nama itu lagi.

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah 1 minggu aku di rawat di Rumah Sakit ini. Hari ini Appa dan Yonghwa meminta satu hal padaku. Mereka memberiku secarik kertas menyuruh aku mengatakannya di suatu tempat yang akan mereka beritahukan nanti. Awalnya aku menolak tapi, Appa dan Yonghwa sampai berlutut memohon padaku untuk melakukannya. Aku akhirnya menyetujui permintaan mereka walaupun aku tak mengerti untuk apa semua ini. Aku membaca tulisan di kertas itu mencoba mengingat dan mempraktekkannya.

“Aku disini tak ingin banyak bicara. Seperti yang anda lihat, luka di sekujur tubuhku ini karena dia! Dia yang mendorongku! Dia yang menjatuhkanku ke dalam jurang itu! Semua karena dia! Dia pembunuh! Saat itu aku sedang berjalan dengannya dan tiba-tiba  tanpa alasan yang jelas dia mendorongku! Setelah memastikan aku sudah kritis dia berpura-pura membawaku ke Rumah Sakit! Meski terluka aku mengingatnya! Aku bisa merasakannya!”

Uhm.. mungkin ini untuk pembunuh itu. Tapi, sedikit berbeda dari cerita Yonghwa kemarin. Aku mencoba mengabaikan pertanyaanku dan benar-benar berlatih mengatakan kalimat-kalimat itu. Jika ini bisa membuat Appa dan Yonghwa senang juga membuat pembunuh itu menderita aku bisa melakukannya. Aku membaca kalimat berikutnya.

“Tolong penjarakan dia! Aku tak ingin melihat dia lagi! Maaf aku belum pulih benar, aku harus pergi.”

Ah, aku terlonjak melihat kalimat ini. Apa maksudnya aku akan mengatakan hal ini di persidangan. Sedikit perasaan khawatir menyelimutiku. Aku takut, aku melakukan kesalahahan. Bagaimana bila kenyataannya berbeda dengan ini? Hatiku berkecamuk mencari jawaban. Nihil. Tak ada pilihan selain mengikuti permintaan Appa dan Yonghwa. Hanya mereka yang bisa aku percaya. Jiyong adalah pembunuh. Dia pantas menderita.

***

Kami sudah meninggalkan Rumah Sakit, tentu saja tujuan utama kami ke pengadilan itu. Jujur saja aku agak sedikit gugup membayangkan aku akan memberi kesaksian di sana.Tapi aku mengacuhkan kegugupan itu. Saat ini kami menunggu mobil yang akan membawa kami ke sana. Beberapa saat kemudian sebuah mobil biru tua milik Yonghwa berhenti. Tak lama Seseorang turun.

“Annyeonghaseyo, Seunghyun imnida. Silahkan masuk tuan, nyonya, nona.”

Seorang namja sudah berdiri di hadapan kami. Membungkukkan badannya kemudian tersenyum. Dia mempersilahkan kami masuk ke mobil, Sesosok namja yang terlihat hangat. Aku tak terlalu mempedulikannya meskipun begitu, aku menyukai auranya.

Yonghwa kemudian memperkenalkan supir kepercayaan keluarganya itu kepada kami. Dia bahkan ingin supir itu yang menjagaku mulai sekarang. Appa dan Eomma menyambut dengan senang, mereka bilang cukup sulit mencari seseorang yang bisa dipercaya di jaman ini. Dan sejak saat itu, Seunghyun menjadi supir pribadiku.

***

Aku didorong perlahan ke atas podium oleh Yonghwa. Yonghwa kemudian kembali duduk. Dari kejauhan aku melihat namja dengan borgol itu memandangku dengan binar mata sendu, tersenyum tipis. Aku mengacuhkannya. Berkonsentrasi dengan hal yang harus kukatakan. Aku mengatakan semua hal sama persis seperti kalimat-kalimat di secarik kertas itu. Membuat namja yang tersenyum tadi akhirnya tertunduk, menangis. Sedikit perasaan bersalah aku rasakan tak tahu untuk apa.

Selesai memberi kesaksian Yonghwa kembali mendorongku keluar, bersama kedua orang tuaku. Kami menyusuri jalan ini menuju pintu besar itu.

“DARA! TUNGGU! AKU MOHON JANGAN TINGGALKAN AKU SEPERTI INI!“

Jantungku berhenti berdetak saat mendengar suara seorang namja berteriak memanggil namaku, aku merasa merindukan suara ini. Aku bisa merasakan luka yang teramat mendalam dari teriakan itu. Aku memalingkan wajahku mencoba melihat sumber suara itu, dengan sigap Yonghwa memelukku dari depan menggagalkan niat-ku untuk menoleh ke belakang.

“Dara,  saranghaeyo.”

“Eh? Kenapa tiba-tiba seperti ini. Kau mengejutkanku!”

“Ayo cepat, kita harus mengejar pesawatmu. Hanya tersisa 15 menit lagi.”

Aku hanya mengangguk. Melupakan niatku untuk melihat namja yang berteriak tadi. Kami mengikuti Appa dan Eomma yang sudah berjalan lebih dulu menuju mobil. Persidangan ini membuat aku lupa tentang itu, hari ini jadwal keberangkatan keluargaku ke Itali. Kami bergegas menuju bandara, hanya tersisa sekitar 13 menit lagi. Seunghyun memacu mobil dengan kecepatan tinggi.

Di tengah perjalanan, belum terlalu jauh dari lokasi persidangan. Aku baru menyadari sebuah sepeda motor sejak tadi mencoba mengejar mobil ini. Aku bisa melihat seorang namja membonceng seorang gadis kecil. Siapa mereka? Apa mau mereka?

“Seunghyun, bisa berhenti sebentar? Seseorang sepertinya mengikuti kita.”

“Tak perlu Seunghyun, menyetirlah lebih cepat.”

Yonghwa menolak permintaanku secara tidak langsung. Seunghyun mengikuti permintaan Yonghwa, dia melaju jauh lebih kencang. Membuat aku sedikit kesal.

“DARA! KAU BISA DENGAR AKU?! BERHENTI SEBENTAR!”

Meski diterpa angin yang kencang juga terhalang oleh badan mobil ini, aku samar-samar mendengar namja itu berteriak, tepat berada di sisi mobil. Dia mencoba menyeimbangkan kecepatan dengan mobil ini. Aku melihat seorang namja berwajah manis dengan mata yang begitu kecil. Di belakangnya duduk seorang gadis kecil. Menangis sambil memeluk namja itu. Apa yang mereka inginkan? Aku membuka jendela menimbulkan teriakan dari Yonghwa. Aku tak menghiraukannya.

“Unnie~ Dara unnie~ huhuhu oppa.. Jiyong oppa, jangan tinggalkan oppa..huhuhu”

Gadis kecil itu menangis di tengah terpaan angin, pipinya memerah kedinginan. Aku tak mampu berkata-kata melihat tangisan gadis kecil itu. Hatiku seakan tercabik. Belum sempat aku membuka suara, jendela tetutup dengan sendirinya. Sepasang tangan menahan aku bergerak, Yonghwa memeluk sekaligus menahanku. Aku mencoba memberontak tapi, tenaga Yonghwa begitu kuat. Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi? Mengapa Yonghwa menghalangiku seperti ini?

Aku melihat motor itu mencoba menyalip mobil ini berkali-kali. Ah, berbahaya apa yang namja itu pikirkan? Terlebih dia membawa seorang gadis kecil. Aku kembali membuka jendela saat pegangan Yonghwa melonggar, dia sibuk melakukan sesuatu. Aku tak peduli. Aku harus mengetahui keinginan dua orang itu sampai melakukan hal nekat seperti ini.

“A..apa yang kalian mau? Jangan mengejar seperti ini! Berbahaya!-”

“Dara! Hentikan semua ini! Katakan yang sebenarnya pada mereka!”

Namja manis itu menjawab teriakanku, setengah menangis. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“A..ku tak mengerti maksudmu-“

“Maafkan aku Dara..”

Yonghwa tiba-tiba meminta maaf padaku, aku terdiam saat sesuatu yang tajam menusuk kulitku, mengalirkan cairan ke dalam darahku. Tepat setelah Yonghwa menyuntikkan sesuatu ke tanganku, Seunghyun mengerem mendadak menghasilkan decitan yang begitu familiar. Namun, usaha Seunghyun tetap tak mampu menghentikan laju mobil ini, tak bisa mencegah kecelakaan ini.

<BRAAAK>

<CRAAASH>

Samar-samar aku melihat sepeda motor terpelanting jauh, dua orang tergeletak bersimbah darah. Aku ingin keluar tapi tubuhku tak mengijinkan aku bergerak. Aku tertidur.

***

Aku terbangun membuka mataku perlahan, suara ini.. sepertinya aku berada di dalam pesawat. Aku melihat Appa, Eomma, dan Seunghyun di sampingku. Merasa aman aku kembali menyenderkan tubuhku di kursi nyaman ini. Aku dalam perjalanan menuju Itali, aku yakin. Kepalaku masih sedikit sakit, aku pun memejamkan mataku lagi melepaskan pikiranku mencoba mengingat apa yang membuat hatiku gelisah seperti ini. Aku merasa ada satu hal bukan, ada beberapa hal penting yang sepertinya terlupakan. Aku tak bisa mengingatnya. Aku mencoba tidur kembali walau hatiku terasa begitu hampa dan kosong. Seperti meninggalkan sesuatu paling berharga dalam hidupku.

(Note: Di sini Dara dipengaruhi obat yang disuntik Yonghwa tadi. obat penenang sekaligus bius. Ingatan yang memang belum pulih, bikin Dara rentan ngelupain sesuatu yang memang blm begitu melekat. Contohnya kaya kejadian2 barusan tadi. Jadi Dara ga inget lg ttg Jiyong, pengadilan, dst)

End Of Flashback

“YOUNGBAE!! DAMI!!”

Refleks aku berteriak memanggil dua nama itu. Aku terbangun dari ‘tidur’ ini dengan tangisan. Aku hanya mampu menangis. Dami, yah Dami. Apa yang terjadi pada gadis kecil itu? gadis yang berada di atas motor bersama Youngbae saat itu. Aku baru mampu mengingatnya sekarang. Belum sempat menemukan jawaban itu seseorang menghampiriku. Aku menghentikan tangisanku sejenak.

“Dara-ah, kau sudah sadar? Ahh, syukurlah. Dokter bilang lukamu tak serius. Hari ini bisa segera pulang. Jika kau sudah merasa baikan, kita masih belum terlambat untuk menghadiri ujian mingguan kita.”

Sebuah suara manis menyambut kesadaranku. Aku mencoba membuka penuh mataku, melihat seorang gadis sedang tersenyum lebar. Ah, aku ingat kejadian semalam. Aku terjatuh. Benarkah aku semalam melihat Jiyong di dalam mobil itu? Benarkah Jiyong yang menggendong tubuhku? Aku rasa benar.

Mendadak aku menangis lagi ketika menyadari apa yang telah kuperbuat, menyadari apa yang telah Yonghwa dan Appa lakukan untuk memisahkan aku dengan Jiyong, menghancurkan Jiyong.

“Da..dara, mengapa menangis? Apa yang terja-“

“Jiyong! apa yang terjadi dengan Dami, adikmu?!”

Aku memotong perkataan Tiffany, aku mencari sosok Jiyong. Dia disana duduk di sudut tanpa ekspresi. Memandangku. Aku begitu takut menghadapi kenyataan pahit ini. Aku takut mendengar bagaimana keadaan Dami. Gadis itu, gadis kecil yang sudah kuanggap adikku sendiri. Aku tak berhenti menangis. Perasaanku mengatakan hal buruk sudah terjadi.

“Hah! Kau pikir kau masih bisa terlihat peduli dengan menanyakan hal itu TUJUH TAHUN SETELAH KEJADIAN SEBENARNYA!!”

“Huhuhu.. Ji..yong mianhaeyo-“

“Kau membunuhnya. Kau menghancurkan hidupku. Apa kau masih belum puas menghancurkan aku!! Aku akan memaafkanmu bila kau mati!!”

Dia berdiri bangkit, dipenuhi emosi. Aku hanya mampu menangis. Dami, jeongmal mianhaeyo. Aku terisak. Penyesalan. Sakit. Hanya itu yang bisa aku rasakan saat ini.

“A..apa yang terjadi padanya Jiyong?”

“Berhenti berpura-pura tak mengetahui semua itu!”

Dia berteriak tepat di depan wajahku mengeluarkan semua emosinya. Tiffany terlihat begitu terkejut dengan percakapan kami berdua.

“Ahm.. apa yang kalian bicarakan? Aku tak mengerti. Jiyong jangan emosi seperti ini.”

“Sudahlah, lupakan. Ayo kita pulang. Kau akan ketinggalan ujianmu bila masih mengurusi gadis sial ini.”

Jiyong bergerak menghampiri Tiffany merangkul gadis itu dan menyeret paksa gadis itu keluar dari ruangan ini. Meninggalkanku. Aku ingin menghentikan mereka. Aku ingin meminta maaf pada Jiyong atas kesalahanku.

“Ji..jiyong, kita tak bisa meninggalkan dia sendiri.”

“Sst.. diamlah kau harus berkonsentrasi untuk ujianmu. Ayo jalan. Cepat sudah jam 2 siang.”

Mereka berjalan semakin menjauh sampai terdengar pintu bergeser terbuka. Selangkah lagi mereka benar-benar akan meninggalkanku. Aku harus menghentikannya. Aku masih mempunyai mimpi. Untuk saat ini, aku harus fokus pada ujianku. Aku harus melupakan masalah ini sejenak. Meninggalkan perih itu di hatiku. Aku membuka suara, menghentikan langkah mereka sekuat tenaga.

“Tu.. tunggu, boleh aku ikut ke kampus? Aku juga harus ujian.”

“TIDAK!”

Sebuah suara dengan cepat menjawab perkataanku, disambut dengan suara lembut lainnya.

“Jiyong! jangan bersikap seperti itu. Tentu saja boleh, Ayo Dara. Aku bantu kau berdiri.”

Sosok itu berlari menghampiriku dan tersenyum membantuku berdiri. Sementara sosok lainnya hanya berdiri memandang kesal dari kejauhan tapi, dia tak menghentikan gadis ini. Cukup membuat aku sedikit lega. Aku bersyukur gadis sebaik Tiffany ada di sampingnya. Setidaknya gadis ini bisa menghentikan emosi Jiyong.

Bersahabat kembali dengan sahabat kecilku. Dia sekarang bukanlah Jiyong yang menyayangiku melebihi apapun. Aku harus menghadapi Jiyong yang berbeda, Jiyong yang begitu membenciku. Ah tapi, Jika memang ingin membunuhku, dia bisa membiarkan aku mati kehabisan darah di sana atau bahkan dia bisa mencekik aku sampai mati di ruangan itu. Dia masih membiarkan aku hidup. Aku bisa merasakan aku masih punya kesempatan, tidak semua bagian dari dirinya membenciku. Aku akan mengubah kebencian itu perlahan. Aku akan memperbaiki kesalahanku. Tuhan, beri aku kekuatan melewati semua ini.

To be continued~

 Komennya mulai kurang nih, sedih kan jadinya keke ;’) .. tetep komen yaaaahhh ^^ . Gomawo

20 thoughts on “SWEET REVENGE [CHAPTER 9]

  1. Sampe nangis baca chapter ini, engga biasanya saya gampang nangis karna baca ff, sakit bgt ngerasain perasaan jiyong:'(
    Bahkan nulis komentar aja sambil nangis huhuhu,

  2. Kyaa aku tau ini ff pas chapternya lagi sedih tapi karena teman-teman ku rame jadi gak bisa menghayati tapi bagus kok dan baru nyambung kenapa jiyong sampai setega itu sama sandara

  3. jelas deh semuanya.
    appa nya dara sama yonghwa benar2 jahat.
    jiyong masih belum tau ya kalo dulu dara itu amnesia.
    dan ingatan dara sekarang udah kembali.

  4. Andai jiyong oppa, youngbae oppa tau kalo waktu itu dara unnie amnesia, jadi nggak sejahat sekarang ini. Dara unnie udah nggak ngerasain sakit lagi kah? Aku doain dara unnie lulus ujiannya

  5. So d main culprit here are Dara’s parents,yonghwa n top.they’r so bad n mean,poor jiyong,now I know why jiyong hate Dara so much.😭😭😭

Leave a comment