What’s With Love [Oneshoot]

aadc.copy

Author : Rachi

“Sandara!”

Suasana di perpustakaan Hannyoung High School yang tadinya tenang dan hening seketika menjadi ribut ketika Guru Lee –salah seorang guru pria- menegur siswi yang bernama Sandara, yang baru saja melempar pulpen yang dipegangnya kepada siswi perempuan lain yang duduk didepannya sambil berdiri. Siswi itu dengan seenaknya berbicara keras-keras di telepon sambil membaca buku, membuat Sandara yang duduk didepannya merasa kesal. Dara sudah menegurnya beberapa kali namun sepertinya siswi itu tak menggubrisnya.

Guru Lee akhirnya turun tangan setelah siswi yang berisik itu mengumpat pada Dara dan mencoba menantang Dara untuk berkelahi. Guru Lee memperingati si siswi agar segera meninggalkan perpustakaan dan menyuruh Dara untuk kembali duduk.

Keadaan kembali tenang dan Dara meneruskan membaca bukunya. Tak lama kemudian seorang siswa pria tiba-tiba berdiri di sampingnya. Dara mendongakkan wajah dan melihat siswa itu sedang memperhatikannya lalu tersenyum padanya .

“Ada apa?” tanya Dara dengan jengah seolah tak peduli dengan kehadiran siswa pria itu.

Wajah siswa pria itu terlihat ramah ketika menyapa Dara. “Kau yang bernama Sandara kan? Aku Kwon Jiyong, ketua klub mading. Aku mau mengucapkan selamat untukmu.” Jiyong menjulurkan tangannya mengajak berjabat tangan.

“Selamat kenapa?” Tangan Dara sepertinya tak tertarik membalas jabat tangan pria itu. Ia malah sibuk membetulkan posisi kacamatanya.

Raut wajah Jiyong terlihat bingung mendapat penolakan seperti itu. “Sebagai pemenang lomba puisi tahun ini.” ujarnya sedikit ragu dengan kedua alisnya yang tertaut

“Aku tidak pernah mengikuti lompa puisi, apalagi jadi pemenang.” kata Dara. “Maaf, aku sedang membaca.” usirnya, mengabaikan Jiyong yang wajahnya terlihat syok.

Apa pria ini benar-benar tak bisa membaca situasi? Dara paling tidak suka diganggu ketika sedang membaca dan tiba-tiba saja pria itu menghampirinya, lalu mengucapkan selamat atas kemenangannya dalam lomba puisi, padahal ia tidak pernah mempublikasikan puisi-puisi buatannya.

“Hei, aku belum selesai bicara!”

Ketika nama Sandara Park terpampang di mading sekolah sebagai pemenang lomba puisi, Jiyong sebagai panitia lomba memutuskan mencari gadis itu untuk diwawancari meski nama gadis itu nyaris tak pernah terdengar di telinganya.

Inti permasalahan kenapa Jiyong sangat ingin mewawancarai gadis itu adalah karena Jiyong sedikit tersinggung pada Dara -yang dirasa Jiyong memiliki kemampuan luar biasa dalam membuat puisi- karena tidak pernah mengirim puisi buatannya berarti sama saja menganggap mading sekolah yang dipimpinnya tidak eksis. Terlebih lagi, Dara berhasil mengalahkannya dalam lomba puisi tahun ini.

“Aku baru saja melempar pulpen ke wajah seseorang karena ia berisik di ruangan ini. Aku tidak mau pulpen itu kembali berbalik dilempar ke wajahku gara-gara aku berisik denganmu.”

Mworago!?!

Untuk sesaat Jiyong mati kutu. Ia benar-benar tak menyangka perkataan gadis ini tajam seperti harimau. Dan terlihat jelas di wajahnya, ia sedang berusaha menahan kedongkolannya. “Aku hanya ingin bicara sebentar!”

Dara menghela napas. Sepertinya kegiatan membacanya hari ini harus ditunda dulu karena kehadiran orang-orang yang tak diharapkannya. “Kita bicara diluar.” ajak Dara sambil menyeret tubuhnya bangun dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu perpustakaan diikuti Jiyong dari belakang.

“Cepat, katakan ada apa?” tanya Dara lagi tanpa basa basi.

Jiyong menggerutu dalam hati. Tak bisakah gadis ini berbicara lembut seperti gadis-gadis teman sekolahnya?

“Mading sekolah ingin mewawancaraimu sebagai profil juara lomba puisi tahun ini.”

“Aku sudah bilang kalau aku tidak pernah ikut lomba puisi.”

“Terserah kau saja, tapi hasil penilaian dari juri kaulah pemenangnya.”

“Kalau begitu, wawancara saja jurinya.”

“Hah?”

Apa telinga Jiyong tak salah dengar? Gadis itu, menyuruhnya mewawancarai jurinya saja padahal dialah pemenang lombanya? Gadis itu sinting!

“Jadi kau tidak mau diwawancara?”

“Tidak!”

APAA?!!!

***

BRAAAKKK

Jiyong membanting pintu ruang madingnya ketika ia masuk. Jika saja ia boleh mengobrak-abrik ruang madingnya ini, dengan senang hati ia akan melakukannya walaupun hanya sekali.

“Sialan!” makinya. “Gadis itu benar-benar tidak waras! Aku, disuruh mewawancari jurinya?!” tunjuknya pada diri sendiri.

Teman-temannya yang ada di ruang mading hanya saling bertatap-tatapan melihat Jiyong mengumpat sambil mondar mandir di dalam ruangan.

“Daesung, tulis! Gadis yang bernama Sandara Park adalah gadis-, gadis yang sombong, menyebalkan dan harus dijauhi oleh kaum pria!”

“Oh, oke-oke.” kata Daesung, dengan tergesa-gesa mencari pulpen di tempat pensil miliknya yang bergambar Doraemon.  Sedetik kemudian, Daesung menggaruk-garuk kepalanya sambil bertanya pada Jiyong, “Hmm, tulis dimana Ji?”

“Di diary kita!” teriak Jiyong kesal. Memangnya dimana lagi jika kita ingin menulis catatan, aisht Kang Daesung.

“Memang apa yang sudah ia lakukan padamu Ji?” tanya Seungri, sambil mengipas-ngipas wajahnya dengan kipas angin mini yang selalu dibawanya pergi.

“Dia melakukan sesuatu padamu? Apa dia menamparmu?” Seunghyun, siwa yang terkenal dengan sabuk hitam karatenya langsung berdiri mendengar Seungri bicara. Ia adalah orang pertama yang akan maju menghadapi orang yang berani macam-macam dengan teman-temannya.

“Aisht, tidak!”

Jiyong menghirup napas dalam-dalam, berusaha menormalkan amarahnya yang sempat melambung tinggi karena perilaku menyebalkan gadis itu.

“Tenang Ji tenang, tarik napas dulu lalu kau bisa bercerita dengan benar.” ucap Youngbae. Diantara keempat temannya, Youngbae adalah orang yang paling sabar dan mendapat julukan Daddy Bae karena sifatnya yang cenderung lemah lembut dan sangat bijak seperti orang tua.

Jiyong menghirup napas panjang sekali lagi dan menghembuskannya dengan pelan-pelan setelah mendapat nasehat dari temannya. Wajahnya yang hampir memerah kini kembali seperti sedia kala. Kedua tangannya yang sempat terkepal mulai rileks.

“Dia bilang dia tidak mau diwawancara, katanya bukan dia pemenangnya. Aku? Disuruh wawancara jurinya. Gila kan?!” omel Jiyong, dengan tangan kirinya bertengger di pinggang sementara tangan kanannya mengacak rambutnya dengan asal.

“Maksudnya Sandara Park kan?” tanya Seungri pada Youngbae, memastikan bahwa yang sedang dibicarakan oleh temannya itu adalah gadis yang menang lomba puisi.

“Kurasa iya, siapa lagi.” sahut Youngbae.

“Yang mana sih orangnya, sini biar kuberi pelajaran.” Seunghyun mendekati Jiyong sembari menggemeretakkan kedua tangannya seperti akan meninju seseorang.

“Jangan Seunghyun jangan, dia akan merasa dirinya penting kalau begitu, biarkan saja.” Jiyong kembali berjalan-jalan di dalam ruangannya, sementara otaknya berpikir bagaimana mendapatkan profile gadis itu tanpa harus mewawancarainya.

Dering ponsel Jiyong yang ada disamping meja Daesung berbunyi dengan kencang, namun Jiyong enggan mengangkatnya karena mood-nya sedang buruk.  Jadi ia menyuruh Daesung yang duduknya paling dekat dengan meja untuk mengangkatnya.

“Daesung, angkat saja teleponnya. Aku sedang malas.”

“Oh, ne Ji.” Tanpa banyak pikir Daesung segera mengangkat ponsel Jiyong yang ada di samping mejanya lalu membawanya ke hadapan Jiyong. “Ini.”

“Apa?” kata Jiyong sambil menatap Daesung yang membawa ponsel di tangannya dengan sedikit bingung.

“Kau bilang aku suruh angkat telponnya, ini telponnya sudah kuangkat.”ujar Daesung polos.

Seungri, Youngbae dan Seunghyun yang melihat tingkah laku Daesung hanya bisa tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut mereka masing-masing. Menyisakan Jiyong yang meremas-remas kepalanya sendiri, merasa frustasi dengan temannya yang satu ini.

“Kang Daesung!!!”

***

Pulang sekolah, Jiyong membanting tasnya dengan kasar ke tempat tidurnya. Hari ini adalah salah satu harinya yang begitu sial di sepanjang hidupnya. Jika saja pemenang lomba puisi itu bukan seorang gadis, ia pasti sudah menghajar orang itu bersama teman-temannya.

Jiyong memutuskan mandi dengan air hangat agar kekesalannya mereda. Selesai mandi, Jiyong duduk di depan meja belajarnya. Ternyata ia masih kesal dengan kejadian di sekolah tadi. Selama ia menjabat menjadi ketua klub mading, belum pernah ada yang berani menolak diwawancarai olehnya. Dan hellooww, nama Sandara Park juga baru pertama kali didengarnya. Ia berani bertaruh kalau gadis itu kuper alias tidak pernah bergaul karena tidak mengenali dirinya sebagai salah satu siswa populer di sekolah.

Jiyong mengambil buku tulis dan merobek kertas di tengah-tengahnya. Tangannya bergerak menulis-nulis sesuatu di atas kertas putih polos itu. Dengan rahang yang mengeras dan senyumnya yang terkesan licik, ia mulai menjalankan rencananya.

***

Esok paginya, Jiyong sengaja datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Ia melirik kanan kiri lorong sekolahnya ketika berjalan menuju kelas Sandara –yang ia tahu dengan bertanya pada wali kelasnya- lalu menaruh sebuah amplop cokelat di atas meja Dara.

“Kita lihat apakah kau akan membaca suratku ini atau tidak.”

***

5 menit sebelum bel pelajaran pertama berbunyi, Dara masuk ke dalam kelas dan menemukan sebuah amplop cokelat tergeletak di atas mejanya. Dara melihat teman-temannya sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan tidak berpikir kalau salah satu dari mereka yang meletakkan amplop ini. Karena penasaran, ia membuka amplop itu dan mulai membacanya. Wajahnya terlihat menahan amarah ketika membaca isinya. Ia meremas surat itu dan sangat yakin siapa pengirimnya.

***

Di ruang mading, Jiyong bersama teman-temannya yang sedang berkumpul membicarakan bahasan mading untuk diterbitkan, terkejut melihat seorang gadis langsung masuk tanpa mengetuk pintu dahulu.

Suasana yang tadinya ceria seketika senyap ketika Dara muncul di pintu dengan pandangan tajam seakan-akan ingin menerkam Jiyong. “Bisa kita bicara?” ucapnya dengan memperlihatkan surat yang ditulis Jiyong  untuknya.

Semua orang didalam ruangan melirik Jiyong yang menampakkan wajah biasa-biasa saja ketika gadis itu datang, seolah-olah Jiyong sudah menunggu kedatangannya. Mereka berempat tak mengerti apa yang sedang terjadi diantara mereka berdua.

Dara yang melihat Jiyong tak beranjak dari tempat duduknya akhirnya mengeluarkan suara, “Tidak bisa?” tanyanya.

“Tunggu!” panggil Jiyong. “Masalah apa?”

“Ini!” Surat dari Jiyong kembali ditunjukkan ke udara.

Dalam hati Jiyong sedikit bersorak senang, ia pikir gadis es itu tidak akan mau membaca surat omong kosongnya. “Kita bicara diluar.” Kali ini gantian Jiyong yang mengajak Dara bicara diluar, berkebalikan dengan situasi saat pertama kali mereka bertemu.

“Mau bicara apa?” tanya Jiyong, berlagak ogah-ogahan setelah mereka sedikit menjauh dari ruang mading.

“Maksudnya apa ini?!”

Jiyong menatap sekilas surat tersebut dan tersenyum sinis. “Oh surat dariku dibaca juga, aku kira kau tidak mau membacanya.”

“Kau ini kenapa sih?! Marah gara-gara aku tidak mau diwawancarai? Kalau begitu wawancara sekarang saja, jangan jadi pria pengecut dengan mengirim surat kaleng seperti ini.”

Jiyong yang tadinya merasa di atas angin karena berhasil membuat Dara datang ke ruang madingnya, mendadak kesal karena Dara menyebutnya pengecut. Seumur hidupnya belum pernah ada yang berani menyebutnya seperti itu.

“Kau bilang aku pengecut?” katanya tak percaya. Gadis ini benar-benar membuat Jiyong nyaris ingin membenci makhluk bernama wanita! Diantara semua ucapan-ucapannya, ini adalah ucapan Dara yang nyaris membuat kepala Jiyong meledak saking pedasnya.

Jiyong memperkikis jarak diantara mereka, lalu menatap Dara dengan pandangan sedikit mengintimidasi, “Kau bilang mau diwawancara sekarang?” tanyanya pada Dara dengan nada meremehkan. “Terlambat, madingnya sudah siap terbit!” teriak Jiyong berapi-api.

Mereka sempat bertatap-tatapan dengan sengit selama beberapa detik, sebelum akhirnya Dara meninggalkan pria itu dan kembali berjalan ke kelasnya. Jiyong yang merasa tekanan darahnya sempat meninggi gara-gara perdebatannya dengan gadis itu, kini mulai bisa bernapas kembali dengan normal begitu gadis itu berlalu dari hadapannya.

Ketika ia ingin kembali ke ruang madingnya, kakinya menginjak sebuah buku yang tergeletak di lantai. Sepertinya buku itu milik Dara yang tanpa sengaja tercerai dari buku-bukunya yang lain saat gadis itu beradu mulut dengannya. Jiyong melihat cover buku itu yang terlihat usang dan merasa tertarik dengan judulnya.

***

Malamnya, Jiyong mengambil buku itu dari tasnya dan mulai membacanya dari halaman pertama. Sepertinya buku ini terjemahan dari luar karena Jiyong menemukan nama pengarangnya bukan orang Korea. Ia mencari terjemahan novel itu di google translate dan mendapati arti novel itu berjudul, Ada Apa Dengan Cinta.

Halaman demi halaman ia buka. Isinya sangat diluar dugaan pria itu. Hampir semua jenis novel terjemahan dari luar pernah dilahapnya dibaca, namun untuk novel yang satu ini, baru pertama kali ia membacanya dan hasilnya selama berjam-jam ia betah membacanya di atas kasur. Menurutnya novel ini benar-benar unik. Gaya bahasanya yang khas menarik perhatiannya. Celetukan-celetukan yang dilontarkan oleh karakter-karakter dalam novel itu nyaris membuat Jiyong tertawa-tawa sendiri seperti orang gila. Novel ini akhirnya masuk menjadi daftar novel yang akan Jiyong cari untuk bacaan selanjutnya.

5 jam lamanya Jiyong berkutat dengan novel itu. Tubuhnya benar-benar pegal karena posisi membacanya yang nyaris membuat kepala sampai kakinya kesemutan, padahal ia sudah berganti-ganti gaya, mulai dari duduk, tiduran, hingga tengkurap. Tapi semuanya sepadan dengan yang didapatnya. Salah satu novel terjemahan terbaik menurut Jiyong.

Jiyong mengambil pulpen dan kertas dari mejanya. Ia memutuskan menulis surat untuk Dara. Besok ia akan mengembalikan novel itu ke kelas Dara.

***

Keesokan paginya di dalam kelas, Dara mengobrak-abrik tasnya dan mengeluarkan semua barang-barangnya, mencari benda berharganya yang dicarinya dari kemarin. Seingatnya ia selalu membawa benda itu kemanapun ia pergi. Dara mengintip di dalam laci dan melihat sebuah bungkusan tergeletak disana. Lalu ia mengambilnya dan membuka bungkusan itu.

“Ah, akhirnya ketemu juga.” gumamnya pada diri sendiri.

Ia nyaris kelimpungan mencari novel itu karena sangat sulit didapat dan sekarang ia bisa bernapas lega karena novel itu sudah ada ditangannya kembali. Ia melihat ada sebuah surat yang terselip di antara halaman-halaman novelnya. Lalu ia membacanya dan sedikit tersenyum dengan isinya. Well, ternyata ia pria yang lucu juga, batin Dara dalam hati.

***

“Jiyong!”

Dara memanggil Jiyong –yang namanya baru ia tahu setelah membaca suratnya- yang baru saja keluar dari ruang madingnya.  Jika biasanya Dara akan berwajah ketus ketika berhadapan dengan pria itu, kali ini raut wajahnya terlihat sedikit lebih ceria dan tak dingin lagi.

“Kenapa? Kau mau mengajakku berdebat lagi?” tanya Jiyong yang kali ini nada suaranya lebih lembut dari kemarin.

“Ah tidak, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu karena sudah menemukan novelku. Ini adalah salah satu novel terjemahan yang langka, jadi kalau sampai hilang aku benar-benar bersedih.” ucap Dara sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinganya.

Rambut Dara yang biasanya digelung ke atas kini dibiarkan tergerai ke bawah, dan Jiyong bisa dengan jelas melihat bahwa rambut gadis itu tidak hitam melainkan hitam kecokelatan, warna yang pas dengan bola mata Dara. Dan untuk pertama kalinya Dara tidak memakai kacamatanya. Dan gadis itu terlihat sangat menarik di mata Jiyong.

Untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam. Tak mampu melanjutkan kata-katanya masing-masing. Perdebatan yang biasanya mewarnai pertemuan mereka sudah tidak ada lagi. Berganti dengan senyuman-senyuman canggung dan malu-malu.

Baru kali ini Jiyong melihat Dara bertingkah seperti gadis-gadis pada umumnya dan tanpa sadar bibirnya mengulas senyum tipis. Ia akhirnya memecah keheningan yang melanda mereka karena gadis itu tak kunjung melanjutkan kata-katanya. “Lalu?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, Dara kebingungan menjawabnya. Biasanya ia akan bersikap ketus pada setiap pria yang mengajaknya bicara, karena hampir semuanya hanya membicarakan hal yang tak penting. “Eh?” ujarnya dengan gugup.

“Lalu apa?” Jiyong balik tanya. Tampaknya Jiyong benar-benar lupa diri ingin menggoda gadis itu. Tadinya ia hanya ingin Dara mengucapkan terima kasih saja, namun reaksi gadis itu hari ini sangat bertolak belakang dengan reaksinya yang kemarin, dan semua itu hanya gara-gara sebuah buku.

“A-ah ne, itu saja, terima kasih.” ucap Dara sambil memainkan jari-jari tangannya lalu berjalan meninggalkan Jiyong dengan senyum yang sangat manis.

Dan senyuman itu benar-benar membekas di hati Jiyong, karena tak lama setelah itu, Jiyong mengerjapkan matanya berkali-kali. Tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya. “Yang tadi itu bidadari ya?” gumamnya sembari cengar-cengir sendiri.

***

Pagi berikutnya di lapangan bola basket sekolah

“Hey, kalian sudah dapat kabar belum? Katanya gadis yang bernama Sandara Park yang jadi pemenang lomba puisi itu, hari ini pindah ke New York.”

Seunghyun langsung bercerita pada teman-temannya begitu ia mendengar -alias menguping tanpa sengaja- ucapan wali kelas Dara yang sedang memberitahu rekan-rekan sesama gurunya di ruang guru.

“Gadis yang kemarin menolak diwawancara itu?” tanya Youngbae memastikan.

“Bingo.” jawab Seunghyun.

“New York? Kyaaahh, aku ingin sekali kesana!” kata Seungri. Sudah lama sekali Seungri ingin pergi ke kota itu. Itu adalah impiannya sejak dulu namun sayang keinginannya belum bisa terwujud karena bahasa Inggrisnya yang hancur-hancuran.

“New York dimana sih?” celetuk Daesung, yang membuat ketiga temannya refleks menjitak kepalanya secara bergantian. “Appo!” teriaknya sambil mengelus-elus kepalanya.

Jiyong tak mendengarkan perkataan teman-temannya sejak tadi. Tangannya sibuk mencari-cari sesuatu didalam tasnya.

“Kau sedang cari apa?” tanya Seungri.

Itu. Kau lihat tidak?”

Itu apa?”

“Ituloh, itu.”

Itu apa sih, aku tidak mengerti!” Giliran Seunghyun menggaruk-garuk kepalanya, tak mengerti ucapan Jiyong yang tak jelas.

“Memang itu kau simpan dimana?” Youngbae mencoba membantu  dengan berusaha mencarinya sekali lagi di dalam tas Jiyong.

“Semalam eomma baru memberikannya padaku dan kalau tidak salah aku menaruhnya di nov- Astaga!” Jiyong baru ingat sekarang. Semalam ia menyelipkan itu di dalam novel Dara sebagai pembatas halaman. Bodoh! umpatnya sambil menepuk keningnya sendiri. Pulang nanti ia akan ke kelas Dara untuk mengambilnya. “Lupakan saja. Oh iya, tadi apa yang kalian bicarakan?”

“Kata Seunghyun, gadis yang menolak diwawancarai olehmu katanya hari ini pergi ke New York.” ucap Daesung.

“Maksudmu Sandara? Oh- APAAA!?!” pekik Jiyong sangat kencang, suaranya nyaris memekakkan telinga teman-temannya. Matanya membulat lebar begitu mendengar kata New York.

New York

Amerika

Benua Amerika

Sialan! umpat Jiyong lagi sekali lagi. Jika gadis itu pergi ke New York, maka itu-nya juga ikut dibawa olehnya, dan itu berarti malapetaka bagi Jiyong. Tanpa berpikir lagi, Jiyong segera menyambar tasnya dan langsung berlari meninggalkan teman-temannya.

“Hey Ji, kau mau kemana?” teriak Youngbae.

“Aku akan menyusul Dara ke bandara!”

“Oh- APA?!!” kali ini giliran teman-temannya yang menjerit kencang.

Seunghyun langsung ikut berlari mengejar Jiyong sebelum temannya itu sampai ke pintu. “Jiyong, dia sudah pergi dari tadi pagi.”

Jiyong berharap ucapan temannya hanya bercanda namun melihat waut wajah Seunghyun yang serius, lututnya langsung terasa lemas. Perlahan tubuhnya jatuh merosot ke lantai seakan-akan kakinya tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Ia seperti orang kebingungan. Matanya mulai berkaca-kaca dan beberapa detik kemudian bulir air matanya perlahan jatuh ke pipi.

“K-kau menangis Ji?” tanya Seunghyun. Jiyong tak berkata apa-apa, hanya menatap dengan mata kosong lantai lapangan bola basket didepannya seakan-akan meratapi kepergian gadis itu

“Hei, kau tidak menyukai gadis yang bernama Dara itu kan?” kali ini Youngbae yang bertanya. Suara tangisan Jiyong yang tadinya hanya berupa isakan makin menjadi mendengar nama Dara disebut.

“Ya ampun, jadi kau benar-benar suka padanya?” Seungri menepuk-nepuk punggung Jiyong, berusaha menenangkan temannya yang satu itu.

“Ti-tidak, bukan begitu.” ujar Jiyong yang akhirnya mampu mengendalikan sesegukannya. “Kemarin aku tak sengaja menemukan novel kepunyaannya dan-, dan di dalamnya ada itu, ada kartu bayaranku, HUWWAAAA….”

Jiyong menangis sejadi-jadinya di pelukan Youngbae, sementara temannya itu mengelus-elus rambutnya.

“Ya ampun hanya itu masalahnya. Ribut sekali sih, kau kan tinggal bilang ke ruang tata usaha kalau kartu bayaranmu terbawa Dara.” kata Seunghyun yang kini bisa bernapas lega. Ia kira ada masalah besar apa sampai-sampai Jiyong menangis seperti orang gila.

“Itu masalahnya.”

“Masalah bagaimana?”

“Didalamnya ada uang untuk bayaran 6 bulan kedepan! HUWWAAAAA….!!!”

“APAA?!!?” teriak keempat temannya bersamaan.

“Sandara Park! Kembalilah ke Seoul!!!” teriak Jiyong sambil menangis.

Keempat temannya merasa kasihan dengan nasib yang dialami Jiyong. Mereka tahu kalau temannya yang satu ini tidak akan berani meminta uang lagi pada eomma-nya. Yang ada bukannya mendapat uang, Jiyong malah akan mendapat tendangan dari eomma-nya itu, mengingat nyonya Kwon adalah mantan atlet judo nasional. Wowww.

“Tenang saja Ji, jika kau perlu uang untuk membayar iuran bulananmu, aku bisa meminjamkannya.” kata Daeseung menyemangati Jiyong yang diikuti oleh anggukan Seungri, Youngbae dan Seunghyun yang juga siap membantunya.

Jiyong sedikit lega mendengar perhatian Daesung dan teman-teman lainnya. Tangisnya kini sudah berhenti. Ia mengusap air matanya lalu beranjak bangun dari lantai. “Gomawo teman-teman.” ujarnya.

Mereka berpelukan dengan erat di lapangan bola basket. Untungnya di tempat itu sepi hanya ada mereka berlima, karena jika ada yang melihat mereka berpelukan seperti itu, orang-orang akan menganggap mereka adalah segerombolan pria homo. Ewww.

“Oh ya Ji, lalu bagaimana dengan itu-mu, apa sudah ketemu?” tiba-tiba Daesung bertanya dengan wajah lugunya. Keempat temannya hanya menghela napas dan mengacak rambut mereka dengan frustasi tingkat tinggi.

“Astaga naga Kang Daesung!!!”

 fin

Yepp, ini memang cerita AADC 2002 kekeke XD… semenjak dilla ngasih tahu ada mini seri AADC 2014, sya langsung kepikiran buat bikin versi daragon-nya, hahaha, dan sengaja sya buat kebalik utk karakter Cinta dan Rangga-nya, xixixi… Dan mianhae utk Mamet, sya bingung siapa yg pas utk meraninnya jadi gk masuk cerita deh, heee…

16 thoughts on “What’s With Love [Oneshoot]

  1. Hahahahahahhahahh,kacau paraaaaahhhhh,,,, untung ga ada adegan puisi2an ya? Klo ada kacau,,, apa aku harus balik kehutan belok ke jamban demi uang iuran??? Hahahahahahahahah keren thor!!!!

Leave a comment