1, 2, 3… [Oneshoot]

201309090937110910_1

Author : Aitsil96

PG-15

“Tok! Tok!”

Bukan suara ketukan pintu, namun itu adalah suara khas yang menggema dari intercom. Konyol. Ya, aku tahu. Dan itu ku anggap sebagai dua kali ketukan. Sebuah isyarat yang menegaskan bahwa ia telah datang. Aku tersenyum, merasa bahwa mungkin pria itu terlalu sopan walau ia telah mempunyai cara tersendiri untuk masuk tanpa harus menunggu aku yang membukakan untuknya.

Bagaimana mungkin pemilik bangunan mewah ini tak mempunyai cara masuk yang layak untuk menuju area pribadinya, bukan?

Kamar ini sangat eksklusif, hingga bahkan calon istrinya yang dungu itu tak mengetahui jika ia memiliki satu buah ruangan rahasia di lantai paling atas bangunan mewah rumah bergaya Eropa klasik miliknya. Haruskah aku pongah ketika mendapati kenyataan bahwa hanya aku lah satu-satunya orang selain si pemilik yang mengetahui tempat menyenangkan ini?

Aku menyimpan satu gelas wine di atas nakas yang telah aku persiapkan untuknya. Jangan remehkan minuman favoritnya tersebut, harganya bahkan lebih mahal dari gajimu selama satu tahun penuh apabila dijumlahkan. Wajar, bukan? Ia adalah salah satu dari sekian pria dengan selera berkelas yang hobi menghamburkan uangnya.

Suara sepatu heels setinggi sepuluh centi berhasil mengetuk lantai dengan cukup gaduh ketika aku melangkah ke arah pintu besi otomatis tersebut. Sebuah pintu yang didesain bisa menangkap sensor dari orang yang diizinkan untuk keluar-masuk ruangan tersebut. Cukup dengan mengarahkan sedikit wajahku ke samping, pintu yang mampu mengalahkan kepintaran beberapa orang dengan IQ standar tersebut telah mampu menangkap retina mataku.

“Buka!”

Satu kata mutlak yang menjadi perintah untuk menggeser pintu tersebut, menampilkan seorang pria yang telah lama ku nantikan. Pria yang masih mengenakan setelan kantor mahalnya. Jas berwarna abu bermotif kotak-kotak dengan dalaman kemeja yang senada. Menggelikan apabila dipakai pria lain, bahkan mungkin bisa terlihat idiot, namun pemandangan yang kini ku dapati mampu membuat liurmu tergoda untuk keluar jika pria itu yang memakainya.

Seringaian tercetak di bibirnya begitu mendapati kehadiranku. Dari balik kacamata hitam besar yang bertengger di hidung bangirnya, aku bisa merasakan bahwa kini ia tengah mengulitiku sampai ke tulang. Sebisa mungkin aku harus mengendalikan perasaan gugup yang tiba-tiba membuncah ini agar terlihat normal. Aish, kami bahkan hampir bertemu setiap malamnya, namun mengapa aku selalu saja terjatuh akan pesona memabukkannya?

Diiringi dehaman singkat, tungkai jenjang pria itu mulai melangkah masuk dengan gaya elegan. Menghipnotisku beberapa saat dengan gaya mewah nan classy yang ia miliki dari cara berjalannya.

“Sudah menunggu lama?”

Suaranya menggetarkan indera pendengaranku. Sangat khasnya. Tak berat, namun amat menggoda. Sebuah tanya yang tak memerlukan jawaban, hanya sebagai basa-basi pembuka seraya menyecahkan bokong indahnya di sofa yang terletak di sudut ruangan. Ia mengeluarkan sesuatu sesaat kemudian. Dua barang yang selalu ada di balik saku jasnya. Rokok dan pemantik.

Asap berwarna putih di udara mengepul seiring dengan ia yang menghisap dalam rokoknya. Aku tersenyum memperhatikan, bibir penuh yang bergerak-gerak itu bahkan berhasil membuatku membayangkan hal lain yang bisa dilakukannya. Hal lain yang mampu membakar gairahku akibat sentuhan dari bibirnya yang membuat candu.

Satu tangannya berisyarat agar aku menghampiri. Bukan untuk duduk di sampingnya, namun di pangkuannya. Tanpa sadar hatiku bersorak gembira dan segera melakukan titahnya dengan senang hati.

Aku meneliti wajah itu. Wajah sempurna tanpa cacat bak pahatan porselen dengan nilai seni yang amat tinggi. Aku tak bisa mengendalikan senyum yang selalu terlukis ketika melihatnya dari jarak sedekat ini. Astaga, aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya kini bahkan mulai membuat kepalaku pening. Secepat mungkin, ku kalungkan kedua tangan lentikku ke lehernya agar sebisa mungkin aku tidak terjatuh.

Ck, atau hanya inikah sebuah alasan basi untuk bisa menjamah leher menggiurkan dengan tato wings yang aku gilai setengah mati tersebut?

“Ambilkan aku wine, honey.”

Mataku memutar malas. Baru saja aku menyentuhnya, namun ia telah menginterupsiku. Sialan! Namun mau tak mau aku melakukannya. Ya, segala ucapannya adalah hukum mutlak untuk wanita murahan sepertiku. Namun tunggu, murahan? Haruskah diriku sendiri yang melabeli dengan sebutan hina tersebut?

Lagipula, wanita murahan mana yang hanya akan melayani satu Tuan Kaya Raya dengan dompet yang hanya berisikan unlimited card dan rekening bank dengan triliunan won di dalamnya?

Tuanku. The only one. Kwon Ji Yong.

Satu tepukan genit mendarat di pantatku ketika hendak meraih wine. Aku tersadar bahwa ia kini mulai mengikutiku untuk beranjak ke sisi lain ruangan luas tersebut. Pria itu telah mematikan rokoknya dan tengah mendudukkan dirinya di tepian ranjang kebesarannya yang terletak di sebelah nakas. Sebuah ranjang berukuran king-size dengan nuansa hitam. Sangat menggairahkan walau hanya dengan sekali pandang.

Terutama bagi aku yang telah memiliki ribuan scene acak bagai roll film yang terputar secara otomatis dalam benakku. Sebuah scene yang panas dan membuat candu. Hingga mampu menyulutkan dahaga gairah akibat dirinya yang membuatku tak pernah puas.

Lagi-lagi aku menghampirinya, mendudukkan diriku dengan arah menyamping di pahanya. Tanpa diperintah, namun mampu membuatnya menampilkan seringai khasnya hingga melepas kacamata hitam dengan arah sembarang. Manik kelamnya menatap lurus, bagai predator malam yang mampu menciutkan nyali musuhnya. Membuat getaran ketakutan tersendiri yang mengancam.

Satu tangannya tanpa izin meraih wine yang berada dalam genggaman, sementara satu tangan lainnya mulai melingkari pinggangku hingga perlahan-lahan mengelus punggung terbuka akibat backless dress berwarna hitam yang tengah ku kenakan. Dengan satu gerakan cepat, wine itu mengaliri kerongkongan keringnya. Terbukti dengan gerakan jakunnya yang bersemangat naik-turun ketika sanggup menghabiskan wine itu dengan sekali tenggak.

Bagus, Kwon!

Aku menyeringai seraya meletakkan lagi gelas itu pada tempat semula, namun rupanya pria itu tak cukup sabar untuk menanti pergerakan lambatku yang dibuat-buat demi menanti pergerakan menakjubkan lain yang tengah ia persiapkan. Benar saja, tangan kokoh itu dengan terburu-buru menarik pinggangku hingga duduk di pangkuannya kembali. Namun kali ini posisinya agak berbeda. Ia membiarkan tubuh bagian bawahnya untuk terjepit oleh kakiku.

Posisi yang menyenangkan, bukan?

Kedua tanganku meraih dasi yang tergantung menyedihkan di lehernya. Membenarkan sedikit posisinya dengan gerakan perlahan dan tersenyum atas hasil karyaku. Ia pun tertawa kering beberapa detik kemudian, cukup mengagetkanku akan reaksinya tersebut.

“Mengapa kau harus repot-repot membenarkannya jika nanti akan kau buka lagi, Park?”

Aku menggumam sejenak seraya bepikir, “Hanya… ingin saja. Adakah yang salah, Kwon?”

Ani. Hanya ku rasa… kau membuang-buang waktumu.”

Aku meledak dalam tawa, “Malam masih panjang, Kwon. Santailah.”

Pria itu menyurukkan kepalanya ke ceruk leherku. Bernapas di sana dengan cukup memburu. Panas dan dalam. Bibirnya tak ketinggalan untuk mencecap lamat-lamat hingga ke rahangku, membuat aku menengadah kenikmatan sekaligus memperluas aksesnya untuk menjamahku lebih jauh.

Beberapa saat kemudian pria itu menghentikan aksinya. Aku mengendalikan dadaku yang naik-turun akibat tersengal akan ulahnya. Mata kami bertemu pandang dengan kilatan tak biasa yang terpancar jelas dari manik kelamnya. Membuatku terhanyut beberapa saat, namun juga menyentakkanku seolah ditarik secara paksa ke alam sadar.

“Tidurlah. Bukankah calon pengantin pria harus terlihat bugar saat hari pernikahannya?”

Ia mendengus seraya memutar matanya malas, “Haruskah? Aku sangat merindukanmu, Park.”

Entah itu bualan, namun tanpa sadar aku juga menikmatinya. Aku juga merindukannya. Amat sangat. Namun haruskah aku menjadikan malam ini malam yang menggairahkan hingga membuatnya tak tertidur semalaman? Sementara pagi harinya ia harus bersiap-siap mengucapkan janji suci di depan altar megah. Bukan bersamaku tentu saja, namun dengan wanita kekanakkan pilihan keluarganya.

Lee Chaerin. Wanita manja yang bahkan kecantikannya saja tak sebanding denganku. Namun sayangnya, takdir sialan membawanya menjadi seorang anak chaebol dari salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan milik keluarganya.

Sangat beruntung, bukan? Andai saja aku bukan terlahir dari seorang single mom yang gantung diri sesaat setelah membuangku ke panti asuhan, mungkin aku juga tak akan bernasib sial seperti ini.

Dan hei, mengapa suasana tiba-tiba berubah jadi melankolis seperti ini? Ck, ini bukan gayaku.

“Tidurlah. Kau perlu beristirahat yang panjang sebelum hari pernikahanmu, Kwon.”

Pria itu tersenyum menanggapi, namun rupanya tak kunjung mendengarkanku. Tangannya malah semakin liar untuk menyentuh punggungku, membiarkan jari-jemari indahnya untuk menelusup lebih jauh. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, menekan buncahan sialan yang tiba-tiba menyeruak hingga jauh ke dasar. Mendesah hanya membuatku ingin terus melanjutkan aktifitas ini.

Ia sudah bernafsu. Bisa ku rasakan sesuatu mengeras di bawah sana, meminta untuk segera dibebaskan. Sesuatu yang tegang dan keras telah bangun. Menggesek bagian luar dari underwear berenda ketat yang tengah ku kenakan. Lagi-lagi aku hampir lupa diri akibat ulah agresifnya.

Tidak! Jangan sekarang!

Tanganku memberi jarak untuk memberi ruang dari pria menggoda ini barang sebentar saja, “Berhenti! Kau harus istirahat, Kwon.”

Ia memutar bola matanya malas seraya mengacak surai hijau nan klimis miliknya hingga tak tertata rapi. Tanpa sadar, itu makin menambah kesan seksi nan bengal yang ia miliki. Sialan!

Arrasseo, tapi biarkan aku melakukan satu hal sebelum itu,” ucapnya seraya melayangkan tatapan nakal yang terpancar dari manik kelamnya.

Mwo?”

Deep kiss.”

Deg! Ucapan laknat dengan nada seduktif tersebut berhasil membuat denyutan jantungku bersahutan tak menentu. Dengan berakhirnya dua kata keparat tersebut, bibir penuhnya meraup bibirku dengan satu kali gerakan cepat nan menggebu. Dengan rakus, ia berhasil menelusupkan lidahnya setelah menggigit bibir bawahku hingga meninggalkan bau amis akibat luka yang ia ciptakan.

Perih, namun aku tetap menikmati semua ini. Ya, setidaknya untuk terakhir kali.

Satu.

Dua.

Tiga.

Hitunganku telah selesai, begitu pula dengan tubuhnya yang tergolek lemah di ranjang kebanggaannya.

Cih! Aku meludah ke lantai akibat sisa wine yang masih terasa dari pergulatan lidah kami.

Aku tersenyum setelahnya. Tidak, namun lebih tepatnya menyeringai melihat tubuhnya yang terlalu cepat menerima reaksi. Aku melirik ke arah gelas kosong yang terletak di nakas. Teringat akan perkataan Seung Hyun, pria bar-bar yang tanpa sengaja membawaku ke dunia jahanam ini.

‘Setelah dia meminumnya hingga tetes terakhir, maka akan ku jamin tubuhnya langsung menggelepar. Racunnya bekerja dengan sangat baik. Tanpa rasa sakit, ia akan beristirahat dengan tenang. Sesuai keinginanmu, Sandara Park.’

Aku beranjak dari tubuhnya, dan… shit! Baru ku sadari bahwa ia telah membuatku lembab. Aku mendengus. Sialan! Pria itu bahkan meninggalkan aktifitas menggairahkan yang sayangnya belum tuntas.

Akan ku biarkan kau beristirahat dengan tenang hingga hari pernikahanmu, Kwon. Akan ku biarkan kau tertidur hingga esok hari sang pendeta akan kelabakan memanggilmu di altar. Oh atau bahkan mungkin… hingga seluruh orang menyadari tentang adanya berita kematian darimu?

Tawa menggema menggelegar memecah keheningan malam, dan itu berasal dariku. Bukankah ini lucu? Chaerin pasti akan tampak bodoh dengan gaunnya, sementara pengantin prianya sedang tertidur pulas dengan ereksi yang bahkan masih terlihat jelas. Menyembul dari balik celana ketatnya.

Katakanlah aku wanita gila! Cacilah aku sepuas yang kalian mau! Aku memang jalang egois yang hanya menginginkan satu lelaki sempurna untuk menjadi milikku.

Sempurna. Ya. Sebuah kata yang bisa menggambarkan seorang Kwon Ji Yong di mataku, namun sayangnya kesan itu harus tercemar manakala ia berucap padaku bahwa ia akan melakukan hal bodoh yang ia sebut dengan pernikahan.

Bukan karena aku mencintainya, namun karena egoku yang terlampau besar untuk memilikinya. Memiliki tubuhnya, hingga pundi-pundi nominal yang akan terus mengalir, memenuhi rekeningku. Persetan dengan kata cinta yang digilai puluhan juta umat manusia yang ada di muka bumi ini!

Bagaimana bisa wanita menyedihkan sepertiku mengerti akan hal menggelikan seperti itu? Cinta? Omong kosong! Itu hanyalah sebuah kata yang menjijikkan hingga hanya akan membuatku merinding ketika mendengarnya.

Obsesi telah membuatku buta akan pesona dari seorang CEO yang menyilaukan.

Aku melangkah keluar seraya membenarkan dress ku yang hampir tercabik oleh tangan kotornya. Manikku menelitinya sekali lagi. Oh, sayang sekali nasib pria keparat itu terlalu malang untuk bisa bertemu wanita jadi-jadian sepertiku. Karena ketika aku tertambat lebih jauh dan aku telah memilihnya, maka hanya ada satu prinsip dalam hidupku. Ia harus jadi milikku. Kwon Ji Yong. Pria itu!

Dan jika ia tak bisa aku miliki, maka tak ada seorang pun yang bisa memilikinya.

–END–

Entah kenapa lagi seneng nulis oneshoot jadi sorry kalo kebanyakan spam story ajaib model beginian. Hope you enjoy guys ^^

 

12 thoughts on “1, 2, 3… [Oneshoot]

  1. Awalnya gak ngrti smpe baca ulang 2x tapi pas otak mlai nalar langsung ketawa ngakak, ternyata jiyong mati diracun,
    Awalnya aku kira mereka akan nikah tapi aku heran kok cl sama pak pendeta kalang kabut eh.. trnyata jiyong dibunuh karena dara gak mau jiyong dimiliki oleh siapapun
    Suka2,, ditunggu karya selanjutnya

Leave a reply to Nexsy Cancel reply