[Oneshoot] VIGNETTE ~ Only Hope

only hope.

.

.

.

Cinta seperti marzipan yang lezat
Saat kalian tergiur dengan kemanisannya,
kalian akan hilang kendali dan mulai menjadi maniak.
Bisa dengan marzipan yang sama ataupun marzipan yang berbeda.
Berapa lama waktunya, hanya kalian yang bisa menentukan pencariannya kelak.

.

.

.

.

.
Only Hope

Starring :
PARK SANDARA and KWON JIYONG
VIGNETTE |Romance-Slice of life |TEEN

Disclaimer :
THIS IS MINE!

R/R [Read and Review]
HAPPY READING
©2014, vapanda



 

“Apa yang salah, Park San Da Ra?”

Aku mengernyitkan hidung dengan sedikit mengendus. Suara nyaring sahabatku diujung telepon memaksa aku untuk menjauhkan handphone dari indera pendengaranku.

Sejenak Aku terdiam sembari menyandarkan kepala dikaca jendela bis yang sedang Aku tumpangi. Diluar sana salju pertama baru turun dengan lamban dan lembut –sangat cocok untuk sedikitnya membuat Aku nyaman diawal musim dingin. Musim dimana lonceng Santa bersama kereta juga beberapa rusa terbang dilangit –setidaknya itu hal yang melekat saat Aku masih terlalu kecil untuk mempercayai seorang pria gempal, berjanggut putih, dan berpakaian tebal merah dengan kantung besar yang dibawanya dipunggung tinggal di Kutub Utara. Yeah, itu dulu saat Aku terus merengek kepada ibu agar membiarkan Aku terjaga didepan perapian menunggu pria tua itu muncul dari lubang asap dan menyapa Santa Clause dengan harapan hadiah natal.

Itu masa kecilku dan berlangsung cukup lama sampai serial televisi yang sesungguhnya, menyuguhkan kenyataan siapa itu Santa dan apa maksud setiap orangtua selalu memakai pakaian santa yang akhirnya pikiran khayalan anak kecil memudar layaknya cat yang luntur. Perlahan namun masih sedikit berbekas.

Selagi Aku tersenyum tipis saat mengingat tentang Santa dan kekonyolanku dimasa kecil, samar-samar suara Bom yang lebih layak terdengar seperti geraman terdengar dari handphone yang ada ditangan kananku.

“DARA!”

Sial. Saat handphoneku tepat dipasang ditelinga, suara melengking Bom langsung cepat menyambut gendang telinga.

“Dara? Kau dengar?” Aku mendengar suara Bom perlahan menyurut lalu setelahnya Bom seperti berbisik pada seseorang namun masih tetap terdengar olehku, “ya Tuhan, sudah ku bilang Sandara memang sudah tidak mau membahas masalah ini. Kau bisa menghajar si aneh Seungri itu dan katakan bahwa Kau angkat tangan.”

“Unnie! Apa maksudmu, huh? Andwae! Aku tidak akan mengalah dari tantangan Seungri!”

Yeah, Aku mengenal suara tidak terima tadi. Itu Lee Chaerin, sepupu dari Bom yang juga Aku kenal sebagai adik kelas ku disekolah. Umur Bom dan Chaerin terpaut dua tahun dengan Bom yang lebih tua darinya –sama sepertiku, karena Aku dan Bom satu angkatan dan juga satu kelas dengan jurusan yang sama terlebih Aku harus membagi bangku selama dua tahun berturut-turut dengannya. Cukup senang memang, dari sana juga Aku belajar menebalkan telinga ku dengan latihan terus-menerus bersama ocehan Bom yang tidak pernah habis. Jadi … bisa dikatakan kalau Bom tidak bisa menyalahkan Aku yang masih dengan prinsip yang sama seperti hampir tiga tahun ini, karena semua berawal dari ulahnya yang selalu berkata banyak.

“Ya!” Bom mulai membentak sekarang dan kemudian dia kembali berbisik –bisa Aku yakini kalau dia menutup bagian bawah handphonenya agar perkataannya tidak terdengar oleh ku, tapi hasilnya tidak serupa. Kenapa Bom tidak menekan tanda mute? “Jangan mengeluarkan suara terlalu keras! Kalau Sandara mendengar, walaupun Aku sepupumu tapi Aku tidak akan membantumu, karena Aku lebih memilih Jin Woo dibandingkan Kau, Chae.”

Aku terkikik geli mendengar alasan yang tidak masuk akal dari Bom. Lugu. Bagaimana tidak? Aku bahkan masih mengingat hal baru-baru ini saat Bom memaksaku memegang tasnya sedangkan Dia memanjat dinding pembatas antara sekolah kami dengan sekolah Jin Woo. Gadis itu terlalu mengagumi ketampanan Jin Woo bahkan setiap sore, Bom menyempatkan diri masuk ke gedung SMP untuk melihat Jin Woo bermain basket lalu setelahnya Bom akan bertindak seperti pemandu sorak dadakan. Sempat suatu hari Bom mengajakku bersamanya untuk berkenalan dengan Jin Woo, tapi hingga detik ini nama yang masih Dia hafal adalah namaku, bukan nama Bom. Jin Woo memang orang yang pelupa dan Bom tidak mempermasalahkan jika dia lupa namanya, tapi Aku tidak! Setiap kali Aku bertanya alasan kenapa Jin Woo menghafal namaku sedangkan Bom tidak, Jin Woo selalu berkata ‘karena Dara noona adalah kunci agar Aku bisa jadi hebat’, sebenarnya itu bukan jawaban yang tepat, tapi Aku hanya menganggukkan kepala saja saat itu.

“Ya! Unnie! Kau keterlaluan! Aku sepupu dekatmu!” kembali lagi, Aku mendengar Chaerin berteriak hampir empat kali lipat dari teriakan Bom dan biasanya itu terjadi saat Chaerin marah hingga wajahnya seperti kepiting rebus.

“Jin Woo mengenal Dara dan tanpa ada Dara, Jin Woo tidak akan mengenal Aku … jadi itu bisa membuatku tidak bisa tidur dan makan sampai waktu yang sulit ditebak. Aku bisa mati secara perlahan, Chae.” Bom membalas dengan nada monoton. Aku rasa kedua sepupu ini akan mulai melakukan adu tembak dengan suaranya.

“Oh Tuhan! Lihat disini, siapa yang menenggelamkan perkataan masalah umur. Unnie! Kau bilang padaku kalau GD terlalu muda untuk Dara unni, tapi sekarang? Biar Aku ingatkan, Jin Woo masih kelas dua SMP dan Kau kelas akhir di SMA, sedangkan GD sama sepertiku.”

“Chaerin, Jin Woo itu cocok denganku, kami sama-sama seperti malaikat dari surga yang turun tanpa dosa dan–”

“Itu karena kalian sama-sama bodoh,”

“YA! Siapa yang bodoh? Atau perlukan Aku sebarkan berita kepada teman-temanmu bahwa Kau mulai menyukai musuh bubuyutanmu sendiri?”

“Whatever, itu hanya gosip. Tapi … setelahnya, teman-temanmu Akan mendengarkan sebuah fakta wanita tua yang mengejar anak dibawah umur.”

“Baik. Lewatkan perdebatan ini …. Omo! Omo! Aku tidak menekan tombol mute ternyata, apa Dara mendengar semuanya?”

“Sudah Aku bilang, Kau bodoh, Unnie.”

Aku terkikik cukup parah sekarang, beberapa pasang mata dikursi depan bahkan menatap kearah tempat duduk belakang dengan tatapan khawatir. ‘Oh God, tenang, Aku tidak gila’ batinku meruntuk.

“Da-ra?” Aku mendengar Bom tergugup dengan berkata sungkan. Mungkin dia bisa kehabisan akal jika Aku mengatakan bahwa Aku mendengar seluruh perkataannya. “Dara, apa Kau mendengar perkataanku dengan Chaerin?”

“Tidak.” Aku berbohong, tapi setidaknya lebih baik seperti ini dibandingkan besok disekolah Aku akan mendapati Bom yang bersikap sungkan dan malu menatapku. “Tidak, Aku tidak mendengar apapun, Bom.”

“Sungguh? Baguslah kalau begitu. Omong-omong, sampai dimana perbincangan kita tadi, Dara?”

Sebelum menjawab, Aku patut untuk menghela nafas, memijat pelipis, lalu menatap langit didalam bis. Hey, penyakit Jin Woo menyebar padaku sekarang. “Bom, Aku lupa pembicaraan kita terakhir. Mungkin … Kau tadi menanyakanku kapan Aku datang ke Seoul.”

“Ah, mungkin juga. Jadi … berapa lama lagi perjalananmu untuk sampai rumah? Kau akan bersekolah besok?”

“Hanya sekitar kurang dari 30 menit lagi, Aku sampai.”

“Dimana pemberhentian bismu, Dara? Chaerin mengatakan Aku harus bertanya, mungkin dia akan menjemputmu.”

“Pemberhentian bis terakhir di daerah Gangnam, jadi Aku akan berhenti disana. Sedikit jauh dari rumahku memang. Bom … katakan pada Chae jika mau menjemput ku bawakan payung, sepertinya salju mulai lebat.”

“Baik kalau begitu, Aku akan menyuruh Chaerin untuk bersiap-siap. Bye, Dara.”

“Bye, Bom.”

***

“Annyeong, Noona?”

Perlu setengah menit Aku mendinginkan otak untuk meresap siapa seseorang yang berdiri tepat di depan ku saat Aku baru melangkah turun dari bis. Kwon Jiyong? Benarkan pria dihadapanku adalah orang yang selama diperjalanan menjadi topik pembicaraan dengan Bom.

“Huh?” Itulah kata pertama yang keluar dari mulutku tepat setelah bis berjalan meninggalkanku. Sekarang, Aku terlihat seperti orang bodoh yang bertindak cukup gila. Kenapa Aku bungkam sedangkan ada banyak pertanyaan yang akan Aku katakan padanya.

Dimana Chaerin? Ekor mataku mulai mengarah kesekeliling, tapi nihil.

Kenapa Jiyong ada disini? Aku sedikit menduga ini ulang kedua sepupu itu. Tidak. Tidak. Jangan percaya diri, Dara!

Apa dia menunggu seseorang? Tapi … jika diingat, penumpang terakhir hanya Aku.

Mengapa dia terus menatapku sambil tersenyum? Oh Ya, Aku lupa lagi. Dia adik kelasku jadi wajar jika bersikap sopan pada kakak kelasnya.

Kenapa dia memakai piyama tidur? Hum … kalau rumahnya disekitar sini, itu wajar. Tapi rumah Jiyong cukup jauh dari sini.

Dan … Apakah dia kedinginan? Sepertinya cukup lama dia berada ditempat pemberhentian bis.

Mungkinkah, Jiyong menunggu ku?

Tidak! Coret pertanyaan tadi.

“Noona? Kau melamun?” Jiyong melambaikan tangannya tepat diwajah ku dan akhirnya Aku tersadar.

“Huh? Tentu tidak.” Aku menyangkal, “Jiyong … sebenarnya kenapa Kau sedang menunggu–”

“Tentu Aku menunggu kedatangan Noona!” Jiyong memotong perkataan ku dengan menyuguhkan senyum manis.

Siapa Aku? Apa Aku Park Sandara? Apa Aku sedang tertidur di bis?

Sekarang Aku semakin kikuk menanggapi Jiyong. Yeah, Aku tahu pria dihadapanku ini menaruh hati padaku cukup lama. Tapi … Aku baru ingat, kalau itu tiga tahun yang lalu dan mungkin itu sudah tidak berlaku lagi untuk sekarang, lagipula Aku mendengar dia memiliki teman dekat yang baru pindah dari Jepang.

Selagi otakku lebih banyak menyusun beberapa narasi tentang Jiyong dan semua isu yang tersebar tetangnya, Aku mengedipkan mata berulang kali, lalu sesekali akan menutup mata lebih, berharap ini adalah mimpi. Dimana harus Aku taruh wajahku jika terlihat kikuk dihadapan adik kelas sendiri?

“Noona? Kau sepertinya melamun sekarang.”

Ternyata benar. Namaku Park Sandara. Tidak tertidur di bis, tapi sekarang perlu menguburukan diri di mantel terdalam bumi.

Tiba-tiba, Aku merasakan seluruh wajahku memanas. Ini musim dingin, tapi temperatur sama sekali tidak membantu menghilangkan wajah yang memanas. Ditambah … Jiyong memegang lembut wajahku! Omo! Omo! Shinigami, muncullah!

“Noona? Kau baik-baik saja?”

Sekali lagi Jiyong bertanya. Diair mukanya, Aku bisa melihat banyak perasaan disana. Entah mengapa, Aku merasa wajahnya menghangatkan terlebih Dia terlihat seperti … khawatir? Aku menggelengkan kepala, tanpa sadar.

“Benarkan?” Pertanyaan Jiyong bertambah dan Dia terlihat penasaran dengan kondisiku.

Sekarang, Aku sepenuhnya membatu.

Jiyong menyetuh dahiku sekarang. Tapi kenapa Aku hanya diam?

Aku berusaha memaksa tanganku untuk bergerak atau setidaknya, menyuruh Jiyong untuk berhenti memegang wajahku. Sekarang, dimana sopan santunnya, Jiyong sama sekali tidak menghormati kakak kelasnya. Bukannya Aku gila hormat, tapi bagaimanapun Aku masih berstatus kakak kelasnya dan ini Korea Selatan! Rasa hormat dijunjung tinggi!

Jiyong mulai menjauhkan tangannya dariku. Dia bergerak mundur dengan dua langkah kecil lalu menggaruk tengkuk lehernya dan baru menunduk. Bagus. Mungkin Jiyong bisa membaca keluhanku sekarang.

“Mianhae, Noona. Aku hanya mengkhawatirkanmu.” Jelas Jiyong dan mulai mengangkat kepalanya. Sekarang pandangan kami segaris lurus.

‘Dia mengkhawatirkanku?’ Aku terkesima mendengarnya mengatakan hal itu. Kata-katanya sangat tulus. Mungkinkah, hatiku mulai bergetar? Tapi … Dia adik kelasku dan Aku perlu sadar diri untuk menyukainya.

“Aku baik-baik saja, Jiyong.” Aku menepis dengan pelan saat Jiyong berusaha kembali menggapaiku. Yang, mungkin sekarang Aku mulai menyukainya atau hanya sebuah kekaguman semata.

“Sepertinya salju akan semakin lebat dan Aku bisa kedinginan dengan pakaian seperti ini. Ayo Noona, Aku akan mengantarkanmu.” Jiyong masih tersenyum lembut kearahku dan Dia mulai membuka payung yang sedari tadi Dia bawa.

Kami mulai berjalan dengan tenang. Tanpa suara –dengan hanya klakson mobil yang menjadi pembantu untuk Aku menghapus setiap momen yang terjadi dengan Jiyong tadi. Tidak satupun dari kami yang saling mencuri pandang –kami saling merunduk dengan menatap langkah masing-masing.

Semua suasana yang terjadi sama sekali tidak membantu. Ada sesuatu yang ganjal dari dalam tubuh bagian dada kiriku. Dentuman yang semakin lama semakin terdengar tidak beratur. Aku mengingat apa maksud dari hal yang Aku alami secara berturut-turut ini. Cinta. Mungkinkah Aku tengah berada dalam lingkupnya. Cinta pada adik kelasku sendiri? Ini patut untuk dibuang jauh, sebelum Aku malu kelak.

“Noona … Kau masih ingat saat Aku menyatakan cinta di halaman belakang sekolah dua tahun lalu?” Suara Jiyong membuyarkan lamunanku. Saat Aku berbalik menatapnya, wajah serius Jiyong menyapaku bersama asap dari mulutnya.

“Aku selalu berpikir bahwa apa yang Aku lakukan saat itu sudah benar dan mungkin Kau akan menerimaku. Aku mencari tahu apa yang Kau suka dengan bantuan Seungri. Noona tidak menyukai seseorang yang memperlihatkan rasa kagum pada Noona secara mudah tertebak, jadi Aku berusaha bersembunyi. Aku selalu memataimu di perpustakaan saat istirahat kedua secara rutin. Mulai dari sana Aku tahu, buku apa yang selalu Noona baca dan bahkan tempat duduk favorit Noona. Bahkan yang lebih lucu, Aku memberikan satu alasan pada Jin Woo untuk bisa mendekatiku, Dia perlu mendekati Noona terlebih dahulu. Aku berjuang keras selama setahun sebelum Aku mempersiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Noona.”

“Jiyong,”

“Saat setelah peristiwa Aku menyatakan cinta kepada Noona, teman-teman kelasku mulai membuatku gusar. Setiap kali Aku lewat dibangku mereka, mereka pasti akan mengatakan padaku untuk berhenti mendekati Noona karena Lee Donghae lebih cocok dibandingkan denganku. Sebelumnya Aku tahu itu salah, hingga akhirnya Aku tersadar bahwa Aku adik kelasmu dan Lee Donghae memang lebih cocok karena Dia satu angkatan denganmu.”

“Sebenarnya,”

“Dari sana Aku mulai berusaha melupakan apapun tentangmu, menghindarimu, mencari yang lain, tapi seberapa keras Aku berusaha, akhirnya Aku akan kembali kepada titik yang sama. Aku masih menyukaimu dan Aku mulai kembali ke tahap awal untuk mengenalmu lagi. Sebenarnya ini sangat menyulitkan. Aku seperti menyiksa diriku sendiri yang hanya berharap pada hal yang tidak pernah akan terjadi. Jadi … tolong ingatkan padaku jika apa yang Aku lakukan ini salah dan marahi Aku, Aku mohon.”

Jiyong terdiam sama halnya denganku. Kami saling menatap dan berhenti untuk saling menentukan suatu hal yang akan terjadi antara kami setelahnya. Aku tahu pikiran pria ini lambat laun akan dewasa tidak seperti sebelumnya, tapi disini Aku perlu mengoreksi pada setiap orang yang menyukaiku. Aku belum pernah berpacaran sebelumnya dan untuk mencari yang pertama, Aku membutuhkan yang bisa membuatku kedepannya membaik, bukan menjadi pemain cinta yang kelak akan rumit.

Aku tersenyum dan Jiyongpun tersenyum. Yah, Aku perlu kembali menguji hatiku yang baru kali pertama dibuat kehilangan akal olehnya.

“Tidak ada yang salah dengan cinta yang ada dihatimu. Semua berjalan dengan lamban bagiku, Jiyong. Aku berterima kasih pada semua kerja kerasmu untukku tapi Aku belum banyak memastikan apa yang Aku rasakan sama sepertimu atau hanya sebuah hembusan angin yang jika mengingat perasaan perempuan akan luluh pada seseorang yang telah menyatakan cinta padanya. Itu berlaku juga padaku. Aku belum bisa memastikan apakah Aku mulai benar menyukaimu atau tidak, tapi … jika Kau masih bisa bertahan untuk menunggu, kepastianku pasti akan berujung pada sebuah jawaban yang pasti. Tolong beri Aku waktu.”

“Menunggu lagi? Itu pasti Noona karena waktu yang akan datang bisa membuat kita memastikan diri dan membenarkan kebenaran. Aku masih bisa menunggu dan kembali mengenal hatiku yang sesungguhnya.”

“Terima kasih untuk semuanya. Aku tahu, Kau semakin berpikir dewasa.”

“Itu tentu. Aku hanya selalu berharap Aku bisa menemukan yang terbaik, baik itu Kau ataupun oranglain karena sekarang Aku dalam pencarian untuk menemukan yang sebenarnya Aku cari.”

Ya. Ini semua benar. Kata ‘ya’ ataupun ‘tidak’ tidak dapat dikatakan dengan mudah jika mengenai cinta dan hati. Satu kata bisa membuat suatu hal kedepannya akan berubah. Kalian perlu berjuang keras dan kembali mengenal hati kalian untuk dititipkan sejenak pada seseorang. Sebuah seleksi yang bisa menjadikan kalian akan menjadi pengendali ataupun pengikut. Sebuah seleksi yang bisa menjadikan kalian akan menangis ataupun bahagia. Sebuah seleksi yang bisa menjadikan kalian akan dewasa ataupun terus kekanakan. Tapi yang pasti, setiap orang membutuhkan yang terbaik dan Aku lebih selektif untuk mencari seseorang itu.

THE END



Bahan cerita yang buat saya kepikiran selama shalat taraweh LOL
Jujur ini cerita jauh dari dugaan loh. Tadinya mau buat mereka berdua berhubungan, eh tapi cerita pribadi malah masuk (tapi gak mungkin begini, mana berani saya ngomong sama cowo satu hadapan begitu. Denger suara di telpon aja langsung matiin -_-) lol
Karena ini jauh dari awal cerita, sedangkan poster udah dibuat dan judulnya beda jadi ulang buat poster dari awal (I hope u know what I mean, kkk) jadi yah kita liat kedepannya ada apa setelah ini.
Selamat Menunaikan ibadah puasa yah! Mohon maaf kalau Saya punya salah atau ada kata yang nyakitin kalian! ~bow

33 thoughts on “[Oneshoot] VIGNETTE ~ Only Hope

  1. waahhh jiyong emang pria yg setia 🙂 ini nih baru namanya pria sejati 😀 kekeke , buat sequelnya yaa , penasaran sama jawaban dara

  2. Nah nah aku ngerti banget nih gmn perasaan dara.-. Beneeer bgt apa yang dibilang sm dara. Seorg perempuan itu butuh org yang akan membuatnya lebih baik bukan menjadi pemain cinta. Aaaaahhhh suka bgt sm kata2nya:’) btw sequel dong thooorr..penasaran gmn proses pdkt mereka..dan akan berakhir dgn bahagiakah?atau malah sebaliknya??sequel pliiiis*^*

Leave a comment