How to Save a Life [Part #17] : Unrequited [M]

Untitled-2

Untitled-1

Author      : mbie07
Link          : HtSaL on AFF
Indotrans : dillatiffa

Ah, sudah berapa kali bolak/i ke DGI?? XD

Selamat membaca.. ^^

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

17

~ Unrequited ~

 

 

Mereka bilang kita tidak akan pernah tahu kepada siapa atau kapan kita akan jatuh cinta. Saat kita dengan seseorang, kita pikir kita tidak merasakan apapun. Kita tidak berpikir bahwa kita bahagia karena kita merasa nyaman bersamanya, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya kita telah jatuh cinta padanya.

 

 

 

Acara akhirnya dimulai dengan pidato pembukaan dari direktur dan tak lama kemudian, semua orang sudah mulai berdansa. Jiyong duduk di kursinya tanpa ada keinginan bediri – meskipun dia sudah berkali-kali diajak berdansa oleh banyak gadis. Hal yang sama juga terjadi pada Bom yang duduk disamping Jiyong, manatap ke lantai dansa. Jiyong mengetuk-ngetukkan jarinya di meja mengikuti irama musik, Bom melihat jemari Jiyong bergerak naik turun kemudian melirik wajah pria itu dari sudut matanya.

“Apa kamu tidak merasa bosan?” tanya Bom akhirnya memecah kebisuan diantara mereka berdua, membuat pria itu menoleh kepadanya. jiyong menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Aku menikmati musik,” senyumnya. “Apa kamu datang kemari hanya untuk itu?” tanyanya, Jiyong mengedikkan bahu. “Mungkin,” dia tertawa. “Idiot,” gumam Bom.

“Bagaimana denganmu burung hantu tua, kenapa kamu menolak semua pria yang memintamu berdansa dengan mereka, hanya sekali ini mereka akan melakukan itu padamu,” dia tertawa, Bom memutar bola matanya. “Itu bukan urusanmu,” desis Bom. Jiyong tertawa puas, lalu mengambil satu cupcake dari piring Bom dan langsung memakannya. “Yah!” seru Bom. “Kenapa kamu tidak mengambil cupcake-mu sendiri?!” tanyanya. “Lalu apa fungsinya milikmu?” Jiyong tersenyum mengejek membuat Bom medelik kesal.

“Jadi kamu datang kemari hanya untuk duduk?” tanya Jiyong, Bom menatapnya. “Aku datang kemari untuk belajar,” dia tersenyum sarkastik pada Jiyong yang membalasnya dengan tawa yang juga sarkastik. “Kamu menyia-nyiakan malam ini, disamping itu kamu terlihat cantik,” kata Jiyong meraih segelas air dan meminumnya. Bom menatap Jiyong tak percaya dan sesaat kemudian aliran darahnya langsung berpusat di otak.

“Tapi tetap saja bagiku kamu ini burung hanta tua,” dia tertawa membuat Bom meringis dan memukul kepalanya. “Aku kasihan pada pacarmu nanti – jika seseorang ada yang bersedia melakukan kesalahan terbesar dalah hidupnya mendekatimu, dasar burung hantu tua Amazon,” kata Jiyong mengelus kepalanya. “Terserah,” Bom memutar bola mataya. Lalu mereka berdua terdiam dan menatap kearah lantai dansa – Jiyong masih mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja sementara jantung Bom berdebar-debar dalam dadanya.

“Hei, apa kamu tahu sesuatu tentang ‘red string of fate’?” tanya Jiyong mengalihkan perhatiannya pada Bom untuk sesaat. “Kenapa?” tanya Bom. “Aku hanya ingin tahu,” ujar Jiyong santai. “Wel, itu adalah sebuah mitos,” kata Bom, Jiyong mengangguk tanda dia mendengarkan penjelasan Bom. “Mitos itu mengatakan bahwa saat seseorang dilahirkan sebuah benang merah diikatkan di jari kelingkingnya dan benang itu terhubung kepada orang yang ditakdirkan untuknya,”

“Ohh, sekarang aku mengerti,” gumam Jiyong tersenyum. “Terima kasih,” katanya dan Bom hanya menatap pria itu tersenyum lebar kepada meja. Dan saat itulah Bom baru menyadari bahwa Jiyong terlihat sangat tampan tersenyum seperti itu, seperti orang yang paling bahagia sedunia.

“Hei,” panggil Bom membuat Jiyong menoleh dengan tatapan bertanya. Bom memandang sejenak. Dia membuka mulut namun langsung menutupnya kembali dan mendesah. “Kamu aneh burung hantu tua,” Jiyong tertawa, Bom mendelik padanya. Bom kemudian memandang kearah lain dan berpura-pura batuk.

“Apa kamu berdansa?” tanya Bom, wajahnya yang sudah merah semakin memerah, tangannya sedikit gemetaran dan jantungnya berdebar keras didalam dada. Dia tidak tahu kenapa hingga akhirnya dia berani menanyakan hal itu pada Jiyong. Jiyong menatap Bom sejenak, berkedip. Pria itu kemudian tersenyum dan mencubit pipi Bom ringan membuat Bom menoleh padanya.

“Maaf,” gumam Jiyong tersenyum. “Semua dansaku – dari awal sampai akhir – sudah dipesan oleh seseorang yang sangat istimewa,” jawabnya, pandangan matanya menerawang jauh. Memandang jauh entah kemana dan tertawa kemudian berdiri., Bom hanya bisa menatapnya.

Sejujurnya Bom ingin menyumpahi Jiyong atau membuang pandangan dari pria itu saat itu juga namun yang bisa dia lakukan hanyalah menatap Jiyong yang diam-diam telah menghancurkan hatinya.

Tak lama kemudian Jiyong berjalan meninggalkannya dengan kedua tangan dia masukkan kedalam saku, yang diikuti Bom dengan tatapan matanya. Tak berapa lama Jiyong menghilang ditengah-tengah orang-orang yang berdansa – Bom memutuskan untuk berdiri dan mengikuti pria itu.

*

Dara membuka jendela lebar disalah satu ruang gelap mengijinkan angin dan suara musik samar dari arah gymnasium menemaninya. Dia duduk di bingkai jendela, mendesah lelah menatap langit malam yang dihiasi oleh bulan purnama. Dia terus menatap keatas, kemudian memejamkan mata mulai merasa kedinginan begitu angin malam menyentuh kulitnya.

“Aku tahu kamu akan berada disini,” Dara mendengar Jiyong tertawa, dia langsung membuka mata dan menoleh – menemukan pria itu sedang bersandar pada daun pintu, kedua lengannya bersilang didepan dada dan seulas senyuman tersungging di bibirnya. Sejenak Dara menatap Jiyong. Melihat bagaimana pakaian yang sedang dipakainya sekarang menambah ketampanannya dan bagaimana rambut pirangnya itu sangat cocok untuknya – membuat pria itu terlihat semakin tampan.

Jiyong perlahan melangkah mendekat dan duduk disebelah Dara. “Kupikir kamu tidak akan datang ke pesta dansa?” tanya Dara pelan, mata mereka saling bertatapan. Jiyong tertawa. “Aku tidak akan pernah melewatkan sehari pun tanpa melihatmu, khususnya hari ini saat kamu terlihat semakin cantik,” jawabnya mengelus lekuk wajah Dara dengan punggung jemarinya. Dara menatap Jiyong dalam diam – mereka berdua terdiam.

Dara mengalihkan pandangan dari Jiyong, berdiri dan berjalan pelan menjauh dari pria itu. “Ayo kembali kesana,” katanya, Jiyong berdiri dan menghentikan Dara dengan menahan lengannya, menarik tubuh gadis itu kepadanya, tubuh mereka bersentuhan. Perlahan Dara mendongak hingga mata mereka bertemu. Angin malam menyentuh kulit Dara dan hembusan hangat nafas Jiyong menyentuh bibirnya. Mereka berdekatan, sangat dekat, Dara bisa irama nafas Jiyong didadanya.

Jiyong tersenyum. “Aku merindukanmu,” gumamnya, pegangan tangan Dara pada kemeja Jiyong menguat, sementara tangan Jiyong menemukan tempatnya di balik pinggang gadis itu, menariknya mendekat, hingga tubuh mereka semakin menempel. Dara memejamkan mata dan mendesah. Dengan pelan dia mendorong Jiyong menjauh. “Ayo kembali saja kesana,” bisiknya lemah dan berbalik memunggungi Jiyong.

Jiyong melingkarkan lengannya di pinggang Dara membenamkan wajahnya di bahu Dara. “Jangan bergerak, sebentar saja jangan bergerak,” bisik Jiyong membuat Dara membeku seketika itu juga. Jiyong menarik dirinya dari Dara dan tangannya meraih sesuatu dari dalam saku jas-nya. Jiyong lalu membawa benda itu ke leher Dara dengan hati-hati. Dara langsung merasakan berat kalung yang tengah dipakaikan Jiyong kepadanya dengan hati-hati. Itu adalah kalung berliontin sayap berwarna silver yang memantulkan cahaya bulan.

Jiyong memeluk Dara hingga punggung gadis itu menempel kepadanya. “Selamat ulang tahun,” bisiknya. Mata Dara melebar dan otaknya seketika itu juga mengingat tentang hari ini. Jujur saja, dia sendiri lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dia perlahan berbalik menatap langsung mata Jiyong. “Bagaimana…” dia terbata menatap Jiyong. “Kamu tahu?” tanyanya, Jiyong tertawa kemudian menempelkan keningnya di kening Dara.

“Aku hanya tahu,” jawabnya dengan senyum lebar tersungging, sebenarnya dia tahu dari catatan yang ada di kalender di ruang fakultas. Jiyong menautkan jemarinya dengan jemari Dara sementara tangannya yang satu lagi memeluk pinggang gadis itu menariknya mendekat. Begitu Dara menyadari apa yang coba ingin Jiyong lakukan dia langsung menjauhkan dirinya.

“Aku…” bisiknya sambil menggelengkan kepala pelan. “Tidak berdansa,” katanya menggigit bibir. “Aku tidak bisa berdansa,” gumamnya malu membuat Jiyong tertawa pelan membuat gadis itu mendelik kepadanya. “Imut,” bisiknya saat Dara mencoba mendorongnya menjauh, namun Jiyong semakin mengeratkan pegangannya. “Aku juga tidak berdansa… Aku tidak pernah berdansa,” ungkap Jiyong membuat Dara menatapnya.

“Aku tidak pernah datang ke pesta dansa,” dia tertawa. “Aku pikir pesta dansa itu tidak berguna,” tambahnya membuat Dara menatapnya. “Lalu kenapa kamu datang hari ini?” tanya Dara, Jiyong hanya tersenyum. Jiyong lalu menempelkan kening mereka hingga Dara bisa merasakan hangat nafas Jiyong di kulitnya. “Aku selalu beranggapan acara seperti ini tidak ada gunanya, maksudku semalaman dan kita hanya disuruh berdansa. Itu tidak ada gunanya dan omong kosong, benar kan? Sampai hari ini…” ungkapnya.

“Aku menyadari hal seperti ini sangatlah berguna. Acara ini bukan acara untuk bersenang-senang. Acara ini adalah acara yang bertujuan agar kita berdansa dengan orang yang kita cinta, untuk menggenggam tangannya seperti ini, merasakan hangat tubuhnya, mencium baunya dan merasakan desah nafasnya seperti ini, dan agar bisa saling berdekatan dengan jantung berdetak keras didalam dadam,” katanya dengan seulas senyuman di bibir. “Itulah gunanya acara seperti ini,”

Angin berhembus bersamaan dengan lagu baru yang dimainkan, dan seketika itu juga Jiyong bergerak membimbing Dara bersamanya – tubuh mereka mulai bergerak seirama dengan musik. “Bagaimana kalau kita membiarkan angin dan musik yang menuntun gerakan tubuh kita?” Jiyong tertawa dan mereka pun bergerak. Mereka berdansa ditengah ruang melukis yang gelap, disinari oleh sinar rembulan dan jantung mereka berdetak seirama dengan musik yang dibawa oleh angin.

“Dara,” bisik Jiyong memanggil namanya, Dara memejamkan mata. “Aku ingin agar kamu tahu…” katanya berbisik, lembut seolah ingin membuat Dara mengerti setiap suku kata yang dia ucapkan. “Bahwa aku mencintaimu…” lanjutnya mengucapkan apa yang hatinya katakan kepada Dara, ingin agar gadis itu tahu bahwa dirinya sangat mencintai gadis itu dengan segenap jiwa dan raga.

Dara membuka matanya, pandangan mereka bertemu. “Jiyong,” dia mencoba memperingatka, Jiyong langsung terdiam. Dia lalu tersenyum. “Hei,” bisik Jiyong. “Aku tidak memintamu mengatakan bahwa kamu juga mencintaiku atau memintamu untuk membalas cintaku… aku hanya ingin kamu tahu, aku perlu agar kamu tahu bahwa aku mencintaimu,”

“Aku mencintaimu tanpa paksaan. Aku akan selalu mencintaimu,” bisiknya, perlahan mata mereka terpejam sementara tubuh mereka masih bergerak. Jantung Jiyong berdebar keras. “Aku akan selalu mencintaimu meski kamu sakit… meski kamu tengah bersedih ataupun saat kamu tidak bisa berpikir dengan benar.”

“Aku mencintaimu tanpa peduli dengan perubahan mood-mu dan dalam setiap masa sulitmu,” ungkapnya. Lalu mereka diam dan angin berhembus pelan, musik masih terdengar samar – tubuh mereka masih berdansa mengikutinya. Jiyong membuka matanya menatap pada Dara dan langsung merasakan dadanya sesak karena dipenuhi oleh rasa cinta untuk gadis itu hingga dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Menyadari kebisuan Jiyong, Dara perlahan membuka mata dan menemukan mata Jiyong tengah menatapnya tanpa bisa menyembunyikan rasa cinta yang penuh kerinduan.

Jantung Dara bertalu karena gelombang rasa bersalah dan dia merasakan tenggorokannya mongering saat itu juga.

“Aku mencintaimu meskipun kamu tidak mencintaiku,” bisik Jiyong membuat jantung Dara berhenti berdetak sejenak dan nafasnya tercekat – matanya terkunci pada Jiyong tanpa berkedip sedikit pun. Tak lama air mata menggenang di pelupuk mata Dara yang langsung dihapus Jiyong dengan lembut. “Aku tidak membutuhkan jawaban untuk perasaanku, aku hanya ingin agar kamu membiarkanku tetap berada disampingmu seperti ini,” akunya, lembut, penuh cinta.

“Aku hanya ingin kamu mempercayaiku… aku inin agar kamu selalu mengingat dan tidak pernah melupakan bahwa apapun yang terjadi tidak akan merubah rasa cintaku – aku akan tetap merasakan hal sama,” Jiyong tersenyum pada Dara yang masih terus menatapnya. Jiyong perlahan menangkup wajah Dara dengan kedua tangannya. Dara menahan kedua tangan Jiyong kemudian memejamkan mata.

Rasa sakit langsung menyebar di sekujur tubuh Dara seiring dengan jantungnya yang berdetak keras merasa bersalah dan terluka. Dia ingin mempercayai Jiyong, tapi bagaimana caranya? Bagaimana bisa dia mempercai pria ini sementara dia berhenti mempercayai dirinya sendiri? Dia ingin menerima cinta Jiyong, perasaannya, tapi bagaimana? Bagaimana bisa kita menerima cinta seseorang padahal kita, diri kita sendiri tidak bisa mencintai diri kita?

Dara tahu hal ini akan terjadi. Dia tahu itu, dia menyadarinya namun tidak bisa menghindari hal itu. Rasanya sungguh sangat menyakitkan, karena dia harus menyeret Jiyong dalam hidupnya – satu-satunya kesalahan pria itu adalah dia tetap mencintainya tidak peduli dengan semua masalah dalam hidupnya.

Dara tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia bingung karena otaknya menolak untuk berpikir lahi, lengannya menolak untuk mendorong tubuh Jiyong menjauh dan hatinya lelah dengan semua rasa sakit yang dia rasakan.

Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Jiyong kemudian menarik Dara mendekat padanya, hingga bibirnya menyentuh bibir Dara dan tepat ketika bibir mereka bersentuhan air mata Dara mengalir. Jiyong menggerakkan bibirnya mencium Dara dengan lembut, halus – dan Dara tenggelam dalam ciuman mereka hingga kemudian yang lain menjadi pudar karena ciuman manis Jiyong. Dara lalu mulai merespon ciuman Jiyong dan mengeratkan pegangannya pada lengan Jiyong dan dia memiringkan kepalanya.

Pada saat itu yang terpenting hanyalah mereka berdua berciuman dibawah cahaya bulan didalam ruang kelas gelap ditemani oleh sepoi angin dan suara samar musik dari gymnasium.

Bom berlari keluar dari gedung, matanya terbelalak lebar, terkesiap pelan merasa tidak percaya. Dia berhenti ditengah jalan dan menutupi mulutnya dengan tangan, tak lama air matanya mengalir turun di pipinya dan dia mulai menangisi dirinya sendiri. Dia menggigit bibirnya untuk menahan suara tangisnya, namun tidak berhasil. Dia membenamkan wajahnya di telapak tangan, dia berjongkok karena tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya, mengalir bersama aliran darahnya dan hatinya hancur berkeping-keping. Dia hancur namun tidak ada yang bisa dia lakukan.

Dia membiarkan tangisannya pecah, menangisi hal yang tidak pernah dia bayangkan akan dia tangisi sampai seperti ini. Ini bukan patah hati pertama yang dia rasakan, namun seolah inilah satu-satunya patah hati yang pernah dia alami. Hidupnya sempurna. Dia hidup sebagaimana keinginannya hingga hari ini. Sampai dia membuat kesalahan karena menyadari dia telah jatuh  cinta pada Jiyong. Selama ini dia perlahan telah jatuh dalam jerat pesona pria itu dan dia baru menyadari setelah dia terperangkap dalam – hingga cukup untuk menghancurkan hatinya.

Dia jatuh cinta padanya. Dia benar-benar jatuh cinta pada Kwon Jiyong.

Dia baru menyadari hal itu tepat pada saat hatinya hancur.

Dia mengusap air matanya dengan kasar dan mencoba menarik nafas untuk menenangkan dirinya, tapi air matanya tidak mau berhenti mengalir. “Tuhan! Kenapa dia?” tanyanya lagi dan lagi diantara isak tangisnya. “Kenapa harus dia?” tanyanya mengusap air mata dengan punggung tangannya tidak lagi peduli pada make-up-nya.

“Kenapa rasanya sangat menyakitkan?” tanyanya mencengkeram dadanya kuat, ingin merobek dadanya dan membuang hatinya agar rasa sakit itu pergi. Pada saat dia sibuk berpikir betapa kekanakan dan bodohnya sikap Jiyong – dia telah perlahan jatuh cinta padanya, selama ini dia hanya berpikir merasa bahagia karena Jiyong adalah temannya, selama ini dia hanya berpikir bahwa Jiyong adalah temannya, dia tidak menyadari bahwa dia telah jatuh cinta pada Jiyong. Tidak sampai hari ini saat hatinya hancur dan satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menangisi dirinya sendiri.

“Kenapa kamu sangat bodoh?” ucapnya lalu beridi dan mulai berjalan meuju ke gerbang kampus – atau kemanapun asalkan keluar dari tempat ini, jauh dari rasa sakitnya, jauh dari Jiyong.

*

Jiyong mendorong pintu terbuka dan mereka masuk kedalam rumah. Mereka langsung melepas sepatu mereka dan berganti dengan sandal rumah – Jiyong yang tak sabar mendorong Dara ke dinding, mengklaim bibirnya dan menciumi gadis itu seperti orang kelaparan. Dara mengalungkan lengannya ke leher Jiyong, menarik pria itu lebih dekat, memperdalam ciuman mereka. Jiyong menjilati bibir Dara kemudian lidahnya menyusup masuk, lidah mereka saling berpagutan – berdansa liar diiringi musik yang dinyanyikan oleh kenikmatan. Tangan Jiyong menjelajah hingga sampai ke kaki Dara lalu naik keatas, menyusup dibawak pakaian gadis itu. Kemudian Jiyong menggendong Dara, dengan bibir mereka masih sibuk berpagut – berjalan menuju kamar.

Jiyong menarik turun resleting dress Dara dan perlahan melepas dari tubuh gadisnya hingga telanjang dihadapannya, Jiyong meletakkan Dara di ranjang dan segera dia melucuti pakaiannya sendiri sambil menciumi leher Dara, menghisapnya dengan kuat hingga Dara berteriak dalam nikmat. Tangan Jiyong meraba keseluruh tubuh Dara hingga gadis itu tidak bisa lagi menebak kemana Jiyong akan bergerak – tiba-tiba saja rasanya Jiyong sudah menjadi ahli. Jiyong menciumi leher Dara turun sampai ke tulang selangkanya – tubuh Dara melengkung begitu bibir Jiyong sampai di buah dadanya sementara tangan pria itu bergerak menuju daerah kewanitaannya.

Dara terkesiap merasakan tangan Jiyong disana. “Dara,” bisik Jiyong menyejajarkan pandangan mata mereka, menatap gadis menggigit bibir dan memejamkan mata. Jiyong kembali mengklaim bibir Dara sekali lagi sembari memasukkan jemarinya kedalam tubuh Dara. Dara melepas ciuman mereka dan melenguh panjang saat Jiyong menambah digit jari dalam tubuhnya. “Lagi,” katanya dalam helaan nafas berat, menggigit bibirnya merasa malu. Jiyong menggerakkan jemarinya keluar masuk tubuh Dara – gerakannya semakin lama semakin cepat, Dara mulai merasakan tubuhnya kalah sepenuhnya oleh sensasi terlarang yang sedang dia rasakan.

Berapa kali mereka sudah melakukan hal ini? Dia sudah kehilangan hitungan – tapi setiap kali mereka melakukannya perasaan menjadi murahan dan rasa bersalah masih jelas dia rasakan. Dia merasa terhina dan ditertawakan – sementara dia membiarkan nafsu menguasainya melalui kepuasan yang mampu Jiyong berikan padanya.

Tubuh Dara mulai bergetar begitu akhirnya dia mencapai batas akhirnya dan tak lama dia orgasme – cairannya mengalir membuatnya lemas. Jiyong kembali mengklaim dan mereka mulai berciuman sekali lagi. Tak lama Dara bisa merasakan tubuh Jiyong perlahan memasuki tubuhnya membuatnya berteriak akan rasa puas yang membakar tubuhnya. Jiyong mengerang dan menggigit bibirnya, mendesah menyebut nama Dara dan mulai menggoyangka tubuhnya – Dara ikut bergerak bersamanya.

Tangan Dara meraba punggung Jiyong, kukunya terbenam dalam kulit pria itu, sementara bibirnya memohon untuk lebih, meminta yang lebih lagi – tubuhnya semakin haus lagi dan lagi. Dara merasa terbakar dalam kenikmatan – jiwanya telah hancur berkeping. Dia sudah jatuh dalam lembah dosa, dia semakin merasa jijik dengan dirinya sendiri. “Dara,” desah Jiyong mencium bibirnya.

Dan mungkin Dara sedang menghukum dirinya.

*

Dara terbangun dari tidurnya lalu berdiri dan menatap sisi lain di ranjangnya yang kosong. Ini pertama kalinya dia tidak melihat Jiyong saat terbangun setelah mereka melakukan hubungan. Dia menatap jam di meja, jam 3:40 pagi, Dara memutuskan untuk turun dari ranjang. Dia berjalan ke lemarinya dan mengambil pakaian dalam dan kaos longgar. Dia berjalan keluar dari kamar.

Dara menatap pintu kamar Jiyong sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk membukanya, dan menemukan bahwa kamar itu kosong dan tak tersentuh. Dia berjalan ke ruang tamu, dan sama saja kosong. Dia lalu memutuskan untuk berjalan ke dapur dan menyadari cercah sinar dari pintu studio yang tertutup. Dia berjalan mendekat dan tak lama dia bisa mendengar suara-suara.

Perlahan Dara merain handel pintu dan memutarnya kemudian mendorong pintu kayu hingga terbuka. Disanalah Jiyong, duduk di lantai, menyesap cairan dari dalam cangkirnya, hanya mengenakan celananya dan membaca buku di tangannya. Dia menatap Jiyong, terkejut melihat buku yang sedang dibacanya. Itu adalah buku milik Byul yang akan dipublikasikan. Jiyong tenggelam dalam bacaannya hingga tidak menyadari keberadaan Dara. “Oh,” kata Jiyong menganggukkan kepala dan tersenyum sambil menutup buku dan kemudian mengambil cat dan beranjak kedepan kanvas.

Jiyong duduk didepan kanvas dan menatapnya sejenak, lalu dia memejamkan mata – Dara menyaksikan apa setiap gerakan yang pria itu lakukan. Jiyong tertawa begitu dia berdiri meraih kuas dan mulai mencampur cat, menciptakan warna yang dia inginkan.

Dengan begitu Jiyong mulai melukis dan Dara memandangnya dengan penuh kekaguma. Jiyong sangat fokus dengan apa yang dia lakukan hingga kesetiap detail kecil – dan saat itulah Dara mulai menyadari sesuatu tentang Jiyong. Betapa detailnya pria itu dan saat dia melukis dia tidak merasa perlu untuk membuat sketsa dasar di kanvas; serta betapa indahnya pemandangan Jiyong yang sedang melukis.

Betapa cintanya Jiyong akan melukis seolah dia akan membiarkan sekelilingnya mati dan hidup – dan dia akan tetap melukis. Karena dia mencintai hal itu dengan segenap jiwanya, tidak hanya dengan hatinya melainkan seluruh dirinya.

Tak lama air mata Dara mengalir turun ke pipinya dan dia berbalik, berjalan keluar dari ruangan. Dia menjambak rambutnya dan duduk di ruang tamu, menyandarkan punggungnya pada sofa putih. Dia ingin tertawa setelah menyadari bahwa sofa ini hampir tidak lagi berfungsi selama bertahun-tahun – tidak ada yang pernah duduk disana karena lebih memilih untuk duduk diatas lantai. Namun sofa ini masih tetap berada disini, menjadi sandarannya saat dia tidak lagi punya sandaran lain.

Dara tidak tahu kenapa dia menangis. Apakah dia menangisi dirinya sendiri serta rasa sakitnya? Ataukah karena dia telah menyakiti Jiyong? Atau karena dia tidak bisa membalas perasaan Jiyong? Apakah itu karena Seunghyun dan perasaan bahwa dia telah mengkhianati tunangannya? Apakah itu karena rasa rindu dan sakit?

Apa? Dia tidak tahu lagi! Dia tidak tahu apa yang membuatnya sakit. Dia tidak tahu apa yang dia inginkan. Dan yang paling parah dia tidak tahu apakah dia bisa memaafkan dirinya atau tidak.

Apakah dia salah? Apakah semua yang dilakukannya salah?

Dia hanya ingin berhenti merasa terluka, apakah permintaannya itu terlalu berlebihan?

Lebih buruk lagi, kita hanya akan terlambat menyadari bahwa kita sudah terperosok dalam.

 HTSAL-KJ

 Bertanya2 kenapa hari ini lebih lambat update dari tiga hari sebelumnya? Jawabannya karena kami (mungkin) mulai merasa jenuh.. Kami sudah berusaha seoptimal yang kami mampu, tapi sepertinya hal itu masih belum cukup.. >.<

Tidak ada kepastian akan sampai kapan, tapi semoga saja kami bisa terus termotivasi untuk menjalani proses ini..

Kami memang harapkan memang adalah meningkatnya nilai statistik kunjungan di DGI, tapi apa artinya itu jika jumlah komentar yang kami terima tidak berbanding lurus? Mukin memang salah kami, jika kami mengasumsikan bahwa dengan banyaknya jumlah pengunjung akan menjamin pula dengan banyaknya jumlah komen.. Well, kami toh hanya manusia biasa yang mudah merasa lelah dan jenuh.. 

Sampai ketemu di postingan selanjutnya (yang tidak tahu kapan) dan saya pribadi mengharapkan adanya komentar.. Ppyong.. ^_~

 ~ TBC ~

 

Prolog 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Epilog FN

70 thoughts on “How to Save a Life [Part #17] : Unrequited [M]

Leave a comment